Kritisi Holding BUMN Pertambangan, Ini Pendapat Fraksi PKS
Pemerintah melalui Menteri BUMN tidak memiliki kewenangan terhadap anak perusahaan BUMN.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Fraksi PKS DPR RI mengkritisi holding BUMN pertambangan melalui acara diskusi publik 'Jangan Jual BUMN' di Kompleks DPR Senayan, Jakarta, Rabu (6/12/2017).
Sekretaris Fraksi PKS Sukamta mengatakan, BUMN memiliki peran strategis dalam pembangunan dan bagian dari kedaulatan negara atas sumber-sumber kekayaan negara.
Untuk itu, harus ada jaminan agar aset strategis negara yang menguasai hajat hidup orang banyak itu tetap dikuasai negara dan ini amanat konstitusi.
"Salah satu yang kita kritisi kebijakan holding sektor pertambangan seiring PP Nomor 47/2017 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara RI ke dalam Saham Perusahan Perseroan (Persero) PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) yang menempatkan PT Antam Tbk, PT Bukit Asam Tbk dan PT Timah Tbk sebagai anak perusahaan PT Inalum," ujar Sukamta, melalui keterangan tertulis, Rabu (6/12/2017).
Padahal, lanjut Sukamta, berdasarkan PP No.72/2016 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada BUMN dan Perseroan Terbatas menyebutkan bahwa anak perusahaan BUMN adalah perseroan terbatas yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh BUMN atau perseroan terbatas yang dikendalikan oleh BUMN.
Itu berarti anak perusahaan BUMN yakni PT Aneka Tambang Tbk, PT Timah Tbk dan PT Bukit Asam tidak lagi berstatus BUMN, karena sebagian besar sahamnya tidak lagi dimiliki Negara.
Akibatnya, Pemerintah melalui Menteri BUMN tidak memiliki kewenangan terhadap anak perusahaan BUMN.
Baca: Pemerintah Berutang Lagi 4 Miliar Dolar AS Via Global Bond, Sri Mulyani: Struktur APBN Kuat
"Serangkaian kebijakan ini akan berdampak luas, berpotensi membahayakan BUMN serta aset dan kekayaan bangsa" tutur Sukamta.
Ia menilai cukuplah sudah kasus Indosat jadi pembelajaran bagi bangsa ini. Dengan perubahan struktur BUMN seperti ini, maka peluang untuk melepas dan mengalihkan saham-saham perusahaan yang bukan lagi masuk definisi BUMN menjadi terbuka.
Apalagi di sisi lain, pemerintah sedang membutuhkan dana segar Rp 500 Triliun untuk membiayai proyek infrastruktur yang sudah 'kadung' dibangun, membayar utang jatuh tempo serta untuk divestasi saham Freeport senilai Rp 50-100 Triliun.
Dengan kebutuhan dana sebesar itu, berbagai cara sudah dilakukan, dari menaikkan harga layanan publik (menaikkan tarif listrik, tarif tol, harga BBM), menambah pajak dan menaikkan bunga, lalu melakukan securitisasi asset PT. Jasa Marga, dan lain sebagainya.
Fraksi PKS, lanjut Sukamta, akan terus mengkritisi dan mengawasi Kebijakan Holding BUMN khususnya sektor pertambangan, dengan memastikan bahwa anak perusahaan BUMN yang ada tidak keluar dari strategi besar Holding.
"Perlu transparansi formula proses transisi holding ke dalam BUMN yang masuk dalam skema Holding. Strategi pengelolaan BUMN harus dilakukan dalam upaya menguasai dan mengelola pertambangan nasional, sebagaimana amanah UUD 45 Pasal 33," imbuh Sukamta.
Terakhir, Fraksi PKS mendorong Good Corporate Government (GCG) dengan konsep Non-Listed Public Company (NLPC).
Melalui strategi NLPC, terang Sukamta, pengembangan BUMN dapat berjalan tanpa harus kehilangan BUMN ke tangan asing.
Diberitakan, hadir dalam diskusi publik ini sejumlah pembicara kompeten, antara lain Adang Daradjatun (Anggota Komisi VI), Fajar Harry Sampurno (Deputi Meneg BUMN), Marwan Batubara (Direktur Eksekutif IRES), Budi Gunadi Sadikin (Dirut PT Inalum) dan Arie Prabowo Ariotedjo (Dirut PT Antam).
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.