Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Data Pangan Tidak Akurat Merugikan Kepentingan Rakyat

Data pangan yang tidak akurat menyebabkan banyak hal, salah satunya penentuan kebijakan yang tidak efektif.

Editor: Sanusi
zoom-in Data Pangan Tidak Akurat Merugikan Kepentingan Rakyat
TRIBUN MEDAN/Riski Cahyadi
ilustrasi 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Data pangan yang tidak akurat menyebabkan banyak hal, salah satunya penentuan kebijakan yang tidak efektif.

Kebijakan yang tidak efektif ini tentu berdampak pada pemenuhan kebutuhan pangan rakyat. Namun selain data pangan yang tidak akurat, pemerintah bisa menggunakan cara lain untuk mengetahui kecukupan pasokan bahan pangan di pasar, yaitu dengan menggunakan mekanisme pasar.

Kepala Bagian Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hizkia Respatiadi mengatakan, perbaikan data pangan memang mendesak dilakukan.

Namun melihat hasilnya yang baru akan diumumkan pada Maret 2018 mendatang oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Hizkia menjelaskan, pemerintah harus memikirkan solusi jangka pendek.

Solusi jangka pendek bertujuan untuk memastikan pasokan komoditas pangan cukup sehingga harganya tidak mahal. Di situlah perlunya Indonesia memanfaatkan perdagangan internasional.

“CIPS tidak bosan menyuarakan hal ini karena memang pada kenyataannya harga pangan di Indonesia lebih mahal daripada harga pangan di pasar internasional. Rakyat Indonesia tidak bisa menunggu sampai Maret 2018. Kalau memang komoditas tersebut tersedia di pasar dan jumlahnya melimpah seperti klaim pemerintah selama ini, harusnya harganya tidak mahal. Nyatanya harga komoditas pangan tetap mahal,” jelasnya, dalam keterangan tertulis, Jumat (15/12/2017).

Selain tidak adanya ketersediaan pangan yang cukup, ada beberapa hal yang menyebabkan mahalnya harga pangan, seperti proses distribusi yang panjang sehingga menyebabkan komoditas pangan masih tertahan di gudang, adanya penimbunan yang dilakukan oleh distributor nakal dan pedagang tidak mau menjual komoditas tersebut karena terlalu lama ditumbun di gudang. Hal ini juga merugikan para pedagang eceran.

Berita Rekomendasi

Ketidakakuratan data pangan di Tanah Air sudah sering disuarakan sebagai salah satu penyebab permasalahan penanganan pangan.

Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa hal, seperti parameter pengambilan sampling yang sudah out of date, ketidakcermatan enumerator dan juga ketidakakuratan data atau jawaban dari narasumber. Panjangnya distribusi data dari tingkat desa hingga ke pusat juga berpotensi menimbulkan ketidakakuratan.

“Yang menjadi masalah, Indonesia baru mau mengimpor kalau sudah ada data mengenai produksi pangan dalam negeri tidak cukup, karena data tidak akurat maka pengambilan keputusan terkait impor juga tidak akan efektif untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri. Pemerintah harusnya fokus pada kepentingan rakyat sebagai konsumen. Mereka berhak mendapatkan pangan dengan harga yang terjangkau,” katanya.

Dengan melihat kondisi ini, lanjutnya, pemerintah seharusnya lebih fleksibel dalam mengambil kebijakan. Kalau pemerintah mengandalkan data untuk pengambilan kebijakan terkait impor, maka secara logika hal ini sudah gugur dengan sendirinya karena data pemerintah sendiri ternyata tidak akurat.

Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya menyerahkan pada mekanisme pasar. Hizkia menuturkan, importir juga tidak akan mau rugi kalau mengimpor barang melebihi kebutuhan pasar.

Untuk menghindari impor bermasalah, pemerintah harus menjalankan proses penunjukan importir secara transparan. Kalau penunjukannya masih menggunakan sistem kuota seperti sekarang, maka hal ini bisa menjadi masalah baru karena membuka peluang terjadinya monopoli.

Mekanisme pasar yang baik akan efektif untuk mengendalikan harga. Sistem patroli yang dijalankan pemerintah menunjukkan masih adanya ketidakberesan dalam distribusi pangan di Indonesia.

Contohnya saja harga daging yang dipatok pemerintah di angka Rp 80.000. Kalau harga di perkulakan sudah mencapai Rp 90.000, tidak mungkin penjual akan tetap menjualnya di angka Rp 80.000.
Pengawasan yang berlebihan dikhawatirkan akan memunculkan modus baru yang merugikan konsumen. Misalnya saja mencampur daging sapi lokal dan mencampur beras berkualitas premium dengan beras biasa.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas