Visi Ekonomi Indonesia 2018 Harus Berorientasi Industrialisasi
Jebakan pendapatan kelas menengah adalah sebuah situasi jika pendapatan diatas 5.000 USD/kapita.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menjelang akhir tahun semua instansi keuangaan baik pemerintah dan swasta akan melakukan tutup buku akhir tahun. Sebuah ritual fiskal tahunan dalam rangka melakukan evaluasi lembaga. Diluar sisi perbankan, pemerintah juga melakukan sebuah evaluasi atas indikator kesejahteraan.
Banyak para pengamat ekonomi dalam dan luar negri yang sudah mengingatkan untuk Indonesia tidak terjebak dengan pendapatan kelas menegah (middle income trap).
Jebakan pendapatan kelas menengah adalah sebuah situasi jika pendapatan diatas 5.000 USD/kapita.
Hal ini terjadi pada negara Korea Selatan, dan Amerika Latin misalnya dalam dampak langsungnnya adalah pertumbuhan ekonomi bertambah, namun kesenjangan ekonomi kian lama berjarak.
Baca: Sri Mulyani Optimis Perekonomian Tak Diganggu Tahun Politik
Hal inilah yang menyebabkan jurang kemiskinan semakin ekstrem, dan pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati lapiasan atas sebagai penerima potongan kue ekonomi paling besar.
Hendrik Luntungan Kawilarang sebagai Fungsionaris Partai Perindo yang mengemban tanggung jawab sebagai Ketua Bidang Energi dan Industri, memaparkan situasi ekonomi mikro dan makro terkini.
Dirinya menjelaskan bahwa Indonesia kini sudah cukup baik pertumbuhan ekonomi semenjak pemerintahan Presiden Jokowi, ada di median 5% pertahun (yoy).
Secara rasio pendapatan sudah pada nilai 3.600 USD/perkapita. Itu tandanya rentan dengan jebakan pendapatan kelas menengah. Presiden Jokowi, patut mempertimbangkan hal tersebut. Karena dalam praktek di Korea Selatan pemerintah terjebak pada nilai 5.000-10.000 USD/kapita.
“Tidak ada jalan lain, selain mempersiapkan infrastruktur masyarakat industrialis. Apa yang sudah dikerjakan Presiden arahnya menuju industrialisasi, menurut saya. Daya beli masyarakat menurun karena masyarakat lebih memilih menahan uangnya didalam bank. Karena banyak pihak yang masih menunggu (wait and see) pada masa pembangunan ini. Hal inilah yang menjelaskan menurunya pertumbuhan kredit. Ekonomi cenderung bergerak lamban,” jelas Hendrik Kawilarang Luntungan, Sabtu (23/12/2017).
Hendrik juga mendorong perusahaan pemerintah untuk berlahan siap bersaing dengan perusahaan global di tingkat regional Asia. Pengamatan dirinya pada tahun 2017 ini PDB riil ada pada 5,1% dan diasumsikan meningkat 5,3% pada 2018.
Harapanya, pertumbuhan PDB riil itu disokong dari produktivitas BUMN. BUMN harus mulai melakukan re-evaluasi asset dan reformasi struktur bisnis agar lebih professional, efektiv dan efisien. Secara perlahan, budaya perusahaan professional harus diterapkan di BUMN Indonesia.
“Untuk periode sekarang ini, masih sangat wajar jika pembangunan infrastruktur penunjang industtri masih banyak dikerjakan perusahaan asing. Karena, memang sudah sekian lama geliat industri di Indonesia bergerak lamban. Stimulus pembangunan infrastruktur Presiden Jokowi, akan memicu geliat industri dari kota hingga pedesaaan. Dari Industri Pabrikan hingga industri rumahan,” tambah Hendrik Kawilarang Luntungan.
Dibalik semua itu, ada satu poin yang menurut HKL masih perlu dipertimbangkan. Terkait soal kebijakan pajak yang terasa cukup memberatkan kalangan pengusaha dan kelas menengah baru.
“Sebaiknya, pemerintah membuat paket kelonggaran pajak. Karena dalam situasi pertumbuhan yang belum progresif, tidak bisa diketatkan dengan beban pajak yang tinggi. Hal itu yang mendorong para investor ragu memutarkan modalnya. Kita berharap, ada paket kelonggaran pajak ditahun depan, sehingga proses industrialisasi mulai lepas landas,” ujar Ketua DPP bidang Perindustrian Partai Perindo ini.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.