Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Lembaga Kajian Ini Dorong Pemerintah Buka Opsi Impor Beras dari Luar Negeri

Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) berpendapat, pemerintah seharusnya tidak menutup pintu opsi mengimpor beras dari luar negeri.

Editor: Choirul Arifin
zoom-in Lembaga Kajian Ini Dorong Pemerintah Buka Opsi Impor Beras dari Luar Negeri
Tribunnews/HERUDIN
Buruh angkut menata karung-karung beras Bulog asal Vietnam di salah satu toko di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC), Jakarta Timur, Selasa (28/1/2014). Beras impor ilegal asal Vietnam ditemukan masuk ke PIBC. Masuknya beras impor ilegal asal Vietnam, akan merusak produksi petani dalam negeri. Namun, Bea dan Cukai merilis beras tersebut diimpor secara legal karena ada izin Kementerian Perdagangan. TRIBUNNEWS/HERUDIN 

Laporan Reporter Kontan.co.id, Lidya Yuniartha 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tingginya harga beras medium dianggap dapat membebani masyarakat, khususnya masyarakat dengan pendapatan ekonomi menengah ke bawah.

Harga beras yang terus tinggi juga dikhawatirkan akan memengaruhi inflasi nasional yang pada akhirnya akan berdampak pada kegiatan perekonomian.

Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) berpendapat, pemerintah seharusnya tidak menutup pintu opsi mengimpor beras dari luar negeri.

Kepala Bagian Penelitian CIPS, Hizkia Respatiadi mengatakan, kondisi di lapangan sangat berbeda dengan data yang selama ini diungkapkan Kementerian Pertanian.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, harga beras medium pada Juli 2017 adalah Rp 10.574 per kg dan meningkat menjadi Rp 10.794 per kg pada November di tahun yang sama. Di Januari 2018, angka ini merangkak naik menjadi Rp 11.041 per kg.

Menurutnya, fakta ini seharusnya sudah diantisipasi pemerintah. Pemerintah tidak perlu menunggu sampai harga naik baru memikirkan cara untuk mengatasinya.

BERITA TERKAIT

Beberapa hal yang sudah diterapkan pemerintah terbukti tidak efektif menurunkan harga beras medium. Misalnya saja operasi pasar dan penerapan Harga Eceran Tertinggi (HET).

Dia menambahkan, penerapan HET justru merugikan para pedagang eceran karena biaya yang mereka keluarkan saat membeli beras tersebut dari pedagang beras sudah melebihi HET atau di atas Rp 9.450 per kg. Padahal masih ada biaya lain, seperti transportasi.

“Harga beras yang konsisten tinggi tentu akan memberatkan konsumen, terutama masyarakat miskin yang pendapatannya sama atau kurang dari Rp 300.000 per bulan. Beras menjadi salah satu kontributor kemiskinan mereka. Selain itu penerapan HET adalah cara instan yang justru bukan menjadi solusi untuk menjaga stabilitas harga beras. Banyak tempat penggilingan padi tutup karena harga gabah sudah lebih tinggi daripada HET,” kata Hizkia seperti yang tertera dalam keterangan tertulisnya, Rabu (10/1/2018).

Baca: Sri Mulyani Kaji Rencana Naikkan Gaji PNS

Baca: Anies Hanya Melempar Senyum Ditanya Siapa Tim Ahli Pencabutan Izin Pulau Reklamasi

Hizkia berpendapat, kebijakan HET dan operasi pasar ini pun tidak adil karena menekan pedagang kecil, padahal penggilingan, pedagang grosir dan tengkulak mendapat margin profit yang paling besar.

Hizkia mengkhawatirkan, bila hal ini dipaksakan, para pedagang memilih tidak berjualan.

CIPS mendorong pemerintah untuk membuka keran impor untuk menstabilkan pasokan dan harga beras.

Pemerintah bisa memanfaatkan kerja sama Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dengan mengimpor beras dari Thailand atau Vietnam yang harga berasnya lebih murah dari Indonesia.  

 
 

Sumber: Kontan
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas