BPPT Gunakan Sianida untuk Pengolahan Emas Skala Kecil
BPPT merancang teknologi pengolahan emas non merkuri untuk penambang emas skala kecil, dengan bahan baku sianida.
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, RANGKASBITUNG - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) merancang teknologi pengolahan emas non merkuri untuk penambang emas skala kecil (PESK), dengan bahan baku sianida.
Kepala BPPT Unggul Priyanto mengatakan, penerapan pengolahan emas di tambang rakyat menggunakan sianida karena lebih ramah lingkungan, dibandingkan merkuri yang berdampak bahaya bagi alam dan penambang.
Selain ramah lingkungan, kata Unggul, penggunaan sianida juga dapat menghasilkan emas lebih banyak dibandingkan merkuri yang mampu mengekstraksi sebesar 40 persen.
"Ekstraksi emas pakai merkuri itu hanya 40 persen, kalau sianida bisa 91 persen, jadi emasnya lebih banyak didapatnya," ucap Unggul di lokasi PESK Desa Lebak Situ, Lebakgedong, Lebak, Banten, Kamis (11/1/2018).
Unggul menjelaskan, teknologi mesin dari BPPT yang dihadirkan di Lebak Situ terbagi menjadi beberapa bagian, seperti mesin pengecilan butir batu-batu yang mengandung emas, lalu masuk ke mesin penggiling dan akhirnya naik ke mesin berbentuk tabung untuk dicampur air serta sianida.
"Ini diputar-putar untuk mendapatkan emas dan kemudian dikeluarkan ke tempat yang sudah tersedia karbon aktif agar terserap, lalu karbonnya dibakar dan emasnya tersisa sampai 91 persen," tutur Unggul.
Sementara untuk limbahnya, kata Unggul, tidak langsung dibuang begitu saja ke lingkungan sekitar, tetapi dilakukan pengolahan terlebih dahulu untuk menghilangkan sianida bebas menjadi sianat yang ramah lingkungan.
"Pengolahan emas menggunakan sianida ini sebenarnya bukan hal yang baru, tapi penambangan rakyat senangnya pakai merkuri, perusahaan besar seperti Antam itu menggunakan sianida, jadi kami terapkan di penambangan rakyat skala kecil," ujar Unggul.
Lebih lanjut Unggul mengatakan, penggunaan sianida dalam pengolahan emas memang memerlukan waktu lebih panjang dibanding merkuri, tetapi untuk emas yang didapat penambang jauh lebih banyak jika menggunakan sianida.
"Pakai Sianida itu waktunya lebih lama yaitu 72 jam, kalau merkuri lebih singkat 24 jam, tapi ketika dibuang masih banyak emasnya, sianida itu bisa mengekstrak emas sampai 91 persen dan sianida hanya 40 persen, jadi lebih untung pakai sianida," ucap Unggul.
Direktur Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Mineral BPPT, Dadan M. Nurjaman menambahkan, Pada tahun lalu, BPPT bekerjasama dengan KLHK melakukan beberapa kajian komprehensif pada lokasi PESK yang ada di Daerah Pacitan, Jawa Timur, Banyumas, Jawa Tengah dan Lebak, Banten guna mendukung implementasi pengolahan emas berbasis non merkuri.
"Kajian yang dilakukan adalah karakterisasi bijih emas, uji proses metalurgi, desain proses pengolahan emas, detail engineering design pembangunan pilot plant pengolahan emas non merkuri serta studi kelayakan," ujarnya.
Hasil kajian-kajian tersebut, kata Dadan, telah dijadikan acuan oleh KLHK dalam pembangunan pilot plant pertama pengolahan emas non merkuri di Indonesia yang berlokasi di Kabupaten Lebak, Banten skala 1,5 ton bijih emas persen batch dengan tingkat perolehan emas diatas 80 persen.
"Aspek teknologi merupakan salah satu faktor kunci yang memiliki potensi untuk mengatasi masalah-masalah lingkungan dan kesehatan, terutama merkuri, yang sering ditemukan di PESK," tuturnya.
Dadan berharap, dengan terbangunnya fasilitas pengolahan emas non merkuri ini, para penambang rakyat dapat terbiasa menggunakan metode pengolahan emas bebas merkuri.
"Ini dapat menginspirasi pemerintah daerah lainnya yang memiliki wilayah pertambangan rakyat untuk mereplikasi fasilitas serupa. Sehingga sasaran penghapusan penggunaan merkuri pada aktivitas PESK di Indonesia bisa terwujud," ucap Dadan.