Kementerian Pertanian Tegaskan Beras Impor Tidak Dijual untuk Umum
Kementerian Pertanian meminta publik tak perlu khawatir, sebab beras impor tidak dijual untuk umum.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Impor beras sebanyak 500.000 ton yang dilakukan Kementerian Perdagangan membuat resah petani karena akan berdampak kepada penurunan harga gabah.
Namun Kementerian Pertanian meminta publik tak perlu khawatir, sebab beras impor tersebut tidak dijual untuk umum.
Menurut Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian, Kementerian Pertanian, Momon Rusmono, beras yang diimpor oleh Kementerian Perdagangan tersebut dikategorikan ke dalam beras khusus, yang ditujukan terutama untuk kebutuhan kesehatan, hotel, rumah makan, dan katering.
"Sehingga dalam penjualannya pun akan bekerja sama dengan ritel, tidak dijual secara umum," kata dia.
Impor beras tersebut, menurut Momon karena pasokan beras khususnya di ibu kota negara belum optimal.
Sehingga harga beras cenderung naik dan keputusan pemerintah untuk menekan harga tersebut melalui impor beras dengan jumlah terbatas.
Kementerian Perdagangan sendiri merencanakan akan melakukan impor sebanyak 500.000 ton, sedangkan kebutuhan beras setiap bulannya mencapai 2,6 juta ton.
"Sehingga beras impor itu hanya untuk mencukupi kebutuhan sebanyak lima hari," ujarnya.
Aneh
Ketua Umum DPN Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Fadli Zon mengkritik rencana pemerintah untuk mengimpor beras sebesar 500 ribu ton pada akhir Januari 2018.
Menurutnya, rencana tersebut hanya membuktikan kacaunya tata kelola pangan pemerintah, sekaligus menunjukkan rendahnya mutu data pangan yang selama ini mereka miliki.
Baca: Yakuza Semakin Mati Kutu di Kalangan Perbankan dan Sekuritas Jepang
"Saya melihat kebijakan impor beras ini sangat aneh. Pernyataan pemerintah tidak ada yang sinkron satu sama lain. Paling tidak ada empat keanehan yang saya catat, misalnya. Pertama, Kementerian Pertanian hingga saat ini masih klaim Januari 2018 ini kita mengalami surplus beras sebesar 329 ribu ton," kata Fadli Zon.
"Dengan mengacu data BPS, Kementan menyatakan bahwa sepanjang 2017 produksi beras mencapai 2,8 juta ton, sementara tingkat konsumsi kita sekitar 2,5 juta ton. Jika angka-angka ini benar, kita seharusnya memang surplus beras. Namun anehnya harga beras di pasar justru terus naik," ujar Fadli.
Kedua, Fadli mengatakan pemerintah menyebut bahwa kelangkaan beras terjadi pada golongan beras medium, yang selama ini dikonsumsi oleh kalangan menengah, namun izin impor yang diterbitkan Kementerian Perdagangan malah untuk beras premium.
"Ini kan tidak nyambung. Yang dianggap masalah adanya di mana, tapi penyelesaiannya entah ke mana," ujar Fadli.
Keanehan ketiga, pemerintah berdalih impor beras bulan ini untuk menstabilkan harga beras, artinya untuk keperluan umum.
Sesuai ketentuan yang berlaku, termasuk Permendag No. 1/2018, yang disusun untuk melegitimasi impor beras ini, izin impor untuk keperluan umum hanya dapat dilakukan oleh Bulog.
Baca: Pelajar Ikut Pesta Seks Kaum Homo di Kawasan Cianjur: Saya Dipaksa, Saya Masih Normal
Fadli pun meminta agar masyarakat melihat Pasal 16 Permendag Nomor 1/2018.
Dalam kasus ini, kata Fadli, Menteri Perdagangan justru memberikan izinnya ke perusahaan lain.
Keempat, izin impor ini dikeluarkan pemerintah persis pada saat petani kita sedang menghadapi musim panen.
Baginya, empat keanehan itu sudah lebih dari cukup membuktikan pemerintah selama ini memang tidak transparan dalam mengelola kebijakan pangan.
"Saya juga menilai bahwa yang membesar-besarkan kenaikan harga beras belakangan ini sebenarnya adalah pemerintah sendiri. Dan itu dipicu oleh aturan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang tak masuk akal," ujar Fadli.
"Saat keseimbangan harga di pasar beras berada di atas Rp9.000, pemerintah malah menetapkan HET beras medium, misalnya, di angka Rp9.450. kebijakan tersebut benar-benar sulit dinalar. Bahkan muncul kesan kebijakan HET itu seakan-akan merupakan prakondisi untuk melegitimasi impor beras awal tahun ini," tambah Plt Ketua DPR RI itu.
Jika harga beras naik, sementara di sisi lain pemerintah mengklaim produksi beras sebenarnya sedang surplus, maka menurutnya yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah melakukan operasi pasar, dan bukannya impor.
Impor beras di saat menjelang panen hanya akan menekan harga gabah petani, dan menyebabkan harga gabah petani pasti anjlok.
Jadi, kebijakan tersebut sebenarnya hanya menyakiti petani saja.
Ia pun mengaku heran apa dasar perhitungan dari angka impor 500 ribu ton itu.
Lebih lanjut, jikapun stok beras kita memang minus, yang artinya pemerintah selama ini berbohong dengan klaim surplus beras, Fadli berharap agar setiap rencana impor, berapa jumlah yang perlu diimpor, dan kapan sebaiknya impor dilakukan, dikaji secara matang dan transparan dulu.
Jadi tidak kemudian tiba-tiba muncul angka 500 ribu ton tanpa ada dasar alasannya.
Baca: Perhiasan dan Uang Istri Mantan Menteri Harmoko Raib Usai Liburan di Jepang
Hal penting lainnya, kalau memang perlu impor dengan kajian jumlah dan waktu yang sudah dikalkulasi matang, impor itu harus dilakukan oleh Bulog.
Fadli mengingatkan untuk tidak mencari untung dengan dalih stabilkan harga.
Bulog juga tidak boleh ambil untung dari impor beras. Itu sebabnya proses impor oleh Bulog juga harus transparan dan diawasi ketat.
"Kita tak ingin petani dihancurkan oleh impor beras. Kita juga harus mencegah impor beras ini semacam jalan perburuan rente," ujarnya.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai, kenaikan harga beras pada awal Januari tahun 2018, telah menjadi awal buruk bagi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang akan memasuki tahun politik.
"Belum hilang dalam ingatan, pemerintah berjanji bahwa tidak akan terjadi gejolak harga. Mana janjinya sekarang?" ujar Fahri.
Harga beras medium mengalami fluktuasi Rp 9.450-Rp 11.000 per liter selama beberapa hari terakhir.
Sementara beras premium juga merangkak naik mulai dari Rp 12.800-Rp13.000 per liter.
Fahri menilai, kenaikan harga ini menciptakan ketidakpastian sekaligus beban bagi rakyat, produsen maupun konsumen.
Fahri mengatakan, selama ini masyarakat di-ninabobo-kan dengan keberadaan data tentang beras.
Namun, sekarang masyarakat baru menyadari bahwa ada data yang tidak sinkron dengan kenyataan.
Pemerintah selalu mengklaim stok beras cukup untuk beberapa bulan kedepan, namun faktanya harga beras naik.
"Kita juga dikejutkan pada saat para pembantu Presiden masih sibuk mencari penyebab kenaikan harga beras, tiba-tiba saja tanpa permisi muncul keinginan impor beras," ucap Pimpinan DPR bidang Koordinator Kesejahteraan Rakyat ini.
Dalam beberapa hari ini, lanjut Fahri, masyarakat kembali disuguhkan tidak kompaknya para pembantu Presiden Jokowi.
Baca: Bawaslu Telusuri Dugaan Mahar Pilkada Jatim, Cirebon dan Kalteng
Terutama Menteri Pertanian Amran Sulaiman yang mengklaim pasokan aman dan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita yang khawatir dengan kenaikan harga akibat pasokan berkurang.
"Pemerintah menjamin bahwa stok beras aman dan kebijakan harga eceran tetap (HET) akan lebih melindungi konsumen dan para petani. Tapi cara pemerintah meredam gejolak harga beras hingga memutuskan harus Impor, terlihat kepanikan," kata dia.
Fahri juga meragukan apakah dengan impor harga beras akan turun seketika.
Ia menilai, momentum kenaikan harga beras ini harusnya jadi momentum bagi pemerintah untuk menata kembali kebijakan yang harus diakui keliru.
"Pemerintah harus berbesar hati untuk mengakui bahwa kenaikan harga beras awal januari tahun 2018 ini bukan semata karena faktor supply and demand atau faktor cuaca, tapi malpraktik kebijakan," kata dia.
Jika memang produksi tidak mencukupi, Fahri menyarankan pemerintah untuk mengakuinya.
Lalu evaluasi dan perbaiki faktor-faktor produksi beras yang selama selama ini terabaikan.
Misalnya, lahan yang semakin menyempit, hingga pendapatan para petani yang minim.
Menurut dia, pemerintah bisa hadir dengan menambah insentif serta subsidi bagi para petani.
"Di negara kita yang basis ekonominya jelas berideologi kerakyatan ini, kita tidak usah sok-sokan liberal dengan mengutak-atik dan mencabut subsidi untuk petani. Petani harus diberdayakan. Petani harus dimodernisasi alat-alat produksinya," ujar Fahri.
Namun, jika masalah ada di sisi distribusi, yang mengakibatkan cadangan besar tidak cukup, maka Bulog juga harus dievaluasi.
Ia mengingatkan, selain tugas mengamankan stok, Bulog juga kepanjangan negara untuk menstabilkan harga dan melindungi petani dari pemburu rente.
"Oleh sebab itu, pihak-pihak yang tidak menjalankan tupoksinya dalam mengamankan produksi beras, salah menata distribusi beras dan salah menerapkan HET mesti bertanggungjawab. Ada nasib jutaan petani, nasib pangan utama seluruh rakyat yang dipertaruhkan," kata Fahri.(fik/kps/wly)