Punya Strategi Industrialisasi yang Topang Ketahanan Ekonomi Nasional
Indonesia dinilai telah mengkonversi bahan baku komoditas mentah yang nilainya rendah jadi komponen yang bernilai tinggi dan diekspor
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP), Maryati Abdullah, mengatakan, pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam sejatinya dioptimalkan untuk kepentingan nasional.
Dalam hal smelter, porsi nilai tambah yang paling besar baik dari sisi investasi, pendapatan, produk peruntukkan, maupun terkait perluasan lapangan kerja harusnya memprioritaskan kepentingan dalam negeri.
"Kami minta agar pemerintah tidak semata mata menerima investasi dari luar negeri yang akhirnya hanya akan menguntungkan industri negara lain, sementara industri dalam negeri mati suri," kata dia, Jumat (23/2/2018).
Dikatakannya, Indonesia harus punya strategi industrialisasi yang menopang ketahanan ekonomi nasional. Porsi investasi bisa saja naik, nilai ekspor bisa saja tinggi, tetapi hal itu harus ditempatkan dalam kerangka menumbuhkan industri dalam negeri," tegas dia.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perindustrian, Johnny Darmawan, mengatakan, pihaknya sangat membutuhkan dukungan pemerintah dalam pembangunan smelter karena Indonesia memiliki prospek besar untuk mengembangkan hilirisasi industri logam dasar, misalnya industri baja.
Menurut dia, Industri baja ini akan terus tumbuh dengan rata-rata 6% per tahun sampai 2025 karena tingginya permintaan bahan baku untuk konstruksi yang tumbuh 8,5%, dan otomotif tumbuh 9,5%.
"Sayangnya, Indonesia masih harus mengimpor 5,4 juta ton baja untuk memenuhi kebutuhan yang mencapai 12,94 juta ton per tahun," katanya.
Baca: Progres Pembangunan Smelter Freeport Dinilai Lambat
Ketua Komite Tetap Industri Logam, Mesin dan Alat Transportasi Kadin, I Made Dana Tangkas, mengatakan, saat ini Kadin mendorong adanya konsistensi keberpihakan kebijakan untuk membangun hilirisasi mineral tambang dan pengembangan industri logam dasar.
Berhasilnya hilirisasi mineral tambang ditandai dengan terserapnya produk smelter dalam negeri oleh industri hilir berbasis mineral logam, contohnya industri logam dasar.
"Tanpa adanya industri manufaktur berbasis mineral logam, maka hilirisasi mineral tambang tetap tidak akan memberikan nilai tambah yang tinggi," kata dia.
Waspadai Ekspansifnya Perusahan Tiongkok
Pemerintah harus mewaspadai semakin ekspansifnya perusahaan-perusahaan asal Tiongkok yang melakukan investasi di sektor hilirisasi mineral dan mengekspor hasil pengolahan dan pemurnian tersebut untuk kebutuhan industri di negaranya.
Sementara kebutuhan bahan baku industri hilir di dalam negeri saat ini mengalami kesulitan pengembangan usaha karena harus mengimpor dari negara lain.
Kepala BKPM Thomas Lembong baru-baru ini menyatakan, investasi Tiongkok di Indonesia saat ini besar sekali porsinya di smelter.
Indonesia dinilai telah mengkonversi bahan baku komoditas mentah yang nilainya rendah jadi komponen yang bernilai tinggi dan diekspor.
"Sebelumnya Indonesia mengekspor nikel mentah, sekarang jadi ekspor stainless steel bahkan berkat investasi Tiongkok, Indonesia sudah menjadi tiga besar dunia eksportir stainless steel," katanya.
Thomas juga menambahkan, investor Tiongkok juga terus berinvestasi untuk hilirisasi seperti carbon steel atau baja ekstra keras untuk mesin dan motor.