Lima Tahun Berturut-turut Laba PGN Terus Turun, Ini Tanggapan Direksi
"Beban HPP merupakan porsi terbesar dalam komponen pembentukan harga jual gas bumi, sekitar 60% kontribusinya."
Editor: Choirul Arifin
Laporan Reporter Kontan, Febrina Ratna Iskana
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam lima tahun terakhir, PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk terus mencatatkan penurunan laba. Bahkan, penurunan laba PGN ini turut menjadi sorotan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sekretaris Perusahaan PGN Rachmat Hutama mengatakan, penurunan laba perusahaan dari US$ 845 juta pada 2013 menjadi sebesar US$ 143 juta di akhir tahun 2017 lalu lantaran PGN sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memiliki tugas untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam menyediakan harga gas domestik yang terjangkau bagi industri maupun masyarakat.
Salah satu contohnya adalah PGN tidak menaikkan harga pokok penjualan (HPP) gas ke pelanggan, meskipun harga beli gas domestik dari kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) terus naik.
Mengutip data PGN, HPP gas domestik mengalami kenaikan rata-rata sebesar 8% pada periode 2013-2017. Mulai dari US$ 1,58 per MMBTU menjadi US$ 2,17 per MMBTU.
Baca: Di Depan Para Kepala Daerah, Jokowi Semangati Gubernur dan Bupati Naik Karier Jadi Presiden
"Beban HPP merupakan porsi terbesar dalam komponen pembentukan harga jual gas bumi, sekitar 60% kontribusinya. Namun, naiknya harga beli gas domestik dari produsen atau KKKS tidak diikuti dengan penyesuaian harga jual gas bumi ke pelanggan," kata Rachmat dalam siaran pers pada Rabu (28/3/2018).
Contoh lainnya adalah harga beli gas yang melonjak sesuai instruksi regulator adalah harga gas dari Conocophilips untuk memenuhi kebutuhan industri di Batam.
Semula harga gas dari Conocophillips sebesar US$ 2,6 per MMBTU menjadi US$ 3,5 per MMBTU. PGN tetap membeli gas tersebut meskipun harus menanggung beban sebesar US$ 7,5 juta per tahun.
Rachmat mengklaim PGN terakhir kali menyesuaikan harga jual gas bumi pada medio 2012-2013 lalu. Setelah itu, manajemen tidak menaikkan harga gas demi mendukung kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 40 tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.
Beleid tersebut memerintahkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk melarang perusahaan distributor gas menjual gas dengan harga lebih dari US$ 6 per MMBTU untuk enam sektor industri yang banyak menggunakan gas, yaitu industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.
PGN mendukung instruksi Kementerian ESDM untuk menurunkan harga jual gas kepada pelanggan industri di Medan sesuai Keputusan Menteri ESDM Nomo 434.K/2017. Aturan tersebut juga meminta PGN untuk bersedia menjual gas dari harga rata-rata sebelumnya US$ 1,35 per MMBTU menjadi US$ 0,9 per MMBTU, sehingga membuat perusahaan harus menanggung beban sebesar US$ 3 juta per tahun.
Selain itu, penugasan dari Kementerian ESDM untuk membangun Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) dan Jaringan Gas Rumah Tangga (Jargas) juga mengharuskan PGN menyediakan dana setidaknya US$ 4,9 juta per tahun.
Baca: Suzuki Siap Hadirkan Wagon R Tiga Baris Bangku Tahun Ini
"Kami juga memberikan insentif harga kepada PT PLN (Persero) karena pemerintah ingin menurunkan biaya pokok produksi (BPP) listrik PLN sehingga harga listrik ke masyarakat tidak naik. Ini kami jalankan sebagai bentuk sinergi BUMN yang diinginkan pemerintah," jelas Rachmat.
Rachmat memastikan manajemen PGN telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah laba perusahaan turun lebih dalam. Hal tersebut diantaranya dilakukan dengan menekan biaya operasional menjadi US$ 457 juta pada akhir 2017. Artinya dalam lima tahun terakhir, PGN berhasil menurunkan CAGR biaya operasional sebesar 3% dari US$ 511 juta pada 2013 lalu.
Manajemen juga berhasil menekan jumlah utang atau liabilitas jangka pendek maupun jangka panjang perusahaan. Sampai akhir 2017, liabilitas PGN tercatat sebesar US$ 3,10 miliar, berkurang signifikan dibandingkan posisi liabilitas 2016 sebesar US$ 3,66 miliar.
"Kami melakukan berbagai upaya efisiensi sehingga mampu mencetak laba di tengah kondisi perekonomian saat ini," kata Rachmat.