Pengamat: Pemerintah Harus Salurkan Lagi Subsidi BBM untuk Premium, Itu Amanat UUD 1945
Selain mengancam penerimaan negara, pencabutan subsidi juga menunjukkan bahwa pemerintah telah melanggar UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat 2.
Editor: Choirul Arifin
Laporan Reporter Kontan, Yudho Winarto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat ekonomi Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Kusfiardi mendesak pemerintah untuk kembali memberikan subsidi bagi premium.
Selain mengancam penerimaan negara, pencabutan subsidi juga menunjukkan bahwa pemerintah telah melanggar UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat 2.
“Pemerintah sekarang sudah melanggar konstitusi karena mencabut subsidi Premium. Karena jelas, bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Clear ini adalah kewajiban,” lanjut Kusfiardi dalam keterangannya, Sabtu (19/5/2018).
Kusfiardi menilai, tidak diberikannya subsidi juga menunjukkan bahwa Pemerintah tidak memiliki pemetaan dan roadmap yang jelas. Padahal sudah jelas, bahwa ketiadaan subsidi akan berakibat buruk pada penerimaan negara, khususnya sektor pajak.
“Jadi, Pemerintah sebenarnya sudah salah urus. Pemerintah keliru dalam melihat subsidi, karena menganggap sebagai beban," kata Kusfiardi.
Padahal, subsidi bisa diposisikan sebagai biaya untuk membangkitkan penghasilan masyarakat, yang ujungnya dapat membangkitkan peningkatan penerimaan pajak.
Menurut dia, ketika Pemerintah tidak memberikan subsidi pada komoditas penting, pada prinsipnya bukan hanya merugikan pelaku bisnis. Selain itu, negara juga rugi karena potensi pajak yang diberikan menjadi tidak optimal.
Itu sebabnya Kusfiardi khawatir, jika kebijakan tersebut terus berlanjut maka akan berdampak semakin buruk. Yaitu, perekonomian yang semakin melambat dan menurun.
Baca: Garuda Indonesia Berhentikan Sementara Pilot yang Posting Status Terkait Serangan Teror di Medsos
Baca: Fraksi Gerindra DPRD DKI Dukung Langkah Pemprov Jual Saham di Perusahaan Bir
Jika terus terjadi, maka tidak ada sektor-sektor produksi baru yang muncul dan pasar Indonesia justru dikuasai produk-produk impor.
“Akhirnya yang menikmati potensi perekonomian kita adalah para importir dan industri asing. Padahal, seharusnya kebijakan harga termasuk BBM, dibuat untuk mendorong akselerasi perekonomian nasional,” kata dia.
Terkait subsidi kepada premium, tidak banyak masyarakat tahu bahwa pemerintah sudah mencabut.
Saat ini subsidi hanya diberikan untuk jenis solar. Sedangkan untuk premium, pemerintah tidak lagi memberikan.
Anehnya, meski Premium tidak disubsidi namun Pemerintah turut mengatur harga BBM jenis tersebut.