Jangan Lupa, Ada Kewajiban Freeport yang Jadi Tanggungan Baru PT Inalum
KLHK sudah mengidentifikasi 48 masalah dalam lingkungan yang berkaitan dengan operasi tambang Freeport.
Editor: Choirul Arifin
Laporan Reporter Kontan, Pratama Guitarra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Niat induk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pertambangan, PT Inalum, membeli 51% saham divestasi PT Freeport Indonesia (PTFI) masih menyisakan sorotan sejumlah kalangan.
Sorotan itu antara lain berkaitan dengan sejumlah kewajiban Freeport Indonesia yang belum terselesaikan.
Misalnya, pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral tembaga atau smelter. Sejumlah kalangan menilai, seiring peralihan kepemilikan saham PTFI, kewajiban yang saat ini belum dilaksanakan Freeport Indonesia itu akan menjadi tanggungan baru bagi Inalum.
Pengamat Hukum Sumber Daya Universitas Tarumanegara Ahad Redi mengatakan, jika Inalum sudah sah memiliki 51% saham PTFI, pembangunansmelter yang menjadi kewajiban Freeport Indonesia, juga menjadi kewajiban bagi Inalum.
Porsi tanggungan itu akan besar karena Inalum akan menjadi pemegang saham mayoritas. Bahkan, "Semua kewajiban yang saat ini belum dilaksanakan PTFI, juga menjadi tanggungan Inalum," terangnya, Jumat (13/7/2018).
Ahmad menyatakan, tidak hanya kewajiban membangun smelter, kewajiban pemulihan kerusakan lingkungan sesuai temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), termasuk deviden ke negara yang belum terbayarkan, juga menjadi tanggungan Inalum.
"Ini salah satu kerugian pembelian saham divestasi Freeport. Mereka (Freeport McMoran) menang banyak," tandasnya.
Menanggapi aneka ragam sorotan tersebut, Head of Corporate CommunicationInalum Rendi A Witular menyatakan, kewajiban membangun smelter tetap menjadi ranah dari Freeport Indonesia. "Tapi, nanti kami lihat dulu seperti apa," katanya.
Berkenaan dengan isu lingkungan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menuturkan bahwa instansinya sudah terus-menerus mendiskusikan persoalan ini.
Bahkan KLHK sudah mengidentifikasi 48 masalah dalam lingkungan yang berkaitan dengan operasi tambang Freeport.
Baca: Terbang ke Palembang, Jokowi Tinjau Venue Asian Games Bareng Menpora Singapura
"Terus kami kontrol. Sudah diselesaikan 35 poin dan masih tersisa 13. Dari 13 poin ini saya cek ada tujuh yang hampir selesai juga," ungkap Siti tanpa menyebut lebih rinci.
Dalam audit Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas penerapan kontrak karya PTFI tahun anggaran 2013-2015, perusahaan asal Amerika Serikat itu melanggar sejumlah ketentuan lingkungan.
Baca: Demi Muluskan Proyek PLTU Riau-1, Johannes Kotjo Menyuap Eni Muliani Rp 4,8 Miliar
Misalnya, penggunaan kawasan hutan lindung dalam kegiatan operasionalnya tanpa izin.
Penggunaan kawasan hutan lindung itu dinilai telah menabrak Undang-Undang No 19/2004 tentang Kehutanan. UU ini mengatur pinjam pakai harus seizin menteri.
Selain itu, PTFI dinilai mencemari lingkungan di sungai, hutan, muara, dan laut. Akibatnya, potensi kerugian negara karena kerusakan itu mencapai Rp 185 triliun.
Tito Sulistio, mantan direktur utama Bursa Efek Indonesia (BEI) menilai, apabila pemerintah menjadi pemegang saham mayoritas, seluruh kewajiban PTFI yang belum dijalankan otomatis bakal menjadi tanggung jawab Inalum.
"Kalau Freeport McMoran menjanjikan investasi melalui PTFI, sementara Pemerintah Indonesia juga memiliki 51% PTFI, itu sama saja pemerintah juga berjanji pada dirinya sendiri," sindir Tito.