Di Tengah Melemahnya Optimisme Bisnis Global, Pebisnis Indonesia Tetap Paling Optimis di Dunia
Berdasarkan hasil IBR tersebut, terlihat optimisme pelaku bisnis di Indonesia bertahan di angka 98 persen
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tingkat optimisme para pelaku bisnis global terhadap prospek ekonomi cenderung menurun, sejak realisasi perang dagang antara dua kekuatan ekonomi dunia, Amerika Serikat dan Tiongkok.
Namun, pelaku bisnis di Indonesia justru tinggi, bahkan mencatat tingkat optimisme tertinggi di dunia dengan level 98 persen.
Demikian hasi survei Grant Thornton International Business Report (IBR) per kuartal II 2018. Data ini berasal dari hasil wawancara kepada lebih dari 2.500 pejabat di jenjang eksekutif, managing director, chairman atau eksekutif senior lain dari semua sektor industri yang dilakukan pada Mei-Juni 2018.
Berdasarkan hasil IBR tersebut, terlihat optimisme pelaku bisnis di Indonesia bertahan di angka 98 persen, yang menjadikannya sebagai tingkat optimisme bisnis tertinggi di dunia. Optimisme pelaku bisnis di Indonesia juga jauh di atas rata-rata ASEAN, yang berada di angka 64 persen dan Asia Pasifik di angka 55 persen.
“Kenaikan optimisme bisnis di kuartal kedua cukup dipengaruhi banyaknya festive season, seperti bulan Ramadan dan Lebaran yang mempengaruhi tingginya konsumsi masyarakat dan berpengaruh positif terhadap perputaran bisnis berbagai sektor industri,” ujar Johanna Gani, Managing Partner Grant Thornton Indonesia dalam keterangan pers, Senin (30/7/2018).
Untuk mempertahankan tingkat pertumbuhan, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk membangun industri manufaktur berdaya saing global melalui percepatan implementasi revolusi industri ke-4 atau Industri 4.0 yang diluncurkan di awal kuartal II tahun ini. Implementasi Industri 4.0 akan ditopang lima teknologi utama, yaitu Internet of Things, Artificial Intelligence, Human-Machine Interface, teknologi robotic dan sensor, serta teknologi 3D Printing.
“Pelaku bisnis di Indonesia dapat memanfaatkan komitmen pemerintah tersebut untuk menentukan strategi investasi jangka panjang demi menjaga pertumbuhan secara berkelanjutan. Dan tentu tetap waspada terhadap dampak perang dagang untuk pasar dalam dan luar negeri,” pungkas Johanna.
Survei rutin ini sudah berlangsung sejak 1992 di sembilan negara Eropa yang memberikan wawasan dan pandangan bisnis lebih dari 10.000 perusahaan per tahun di 36 negara.
“Beberapa pihak berpendapat perekonomian global 2018 mungkin sama baiknya dengan tahun-tahun sebelumnya. Namun pola optimisme bisnis jelas berubah, setelah tren kenaikan dua tahun terakhir. Saat ini kita bersiap memasuki fase berikutnya dari siklus ekonomi global, pelaku bisnis dan pembuat kebijakan harus mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk berbagai skenario,” ungkap Francesca Lagerberg, Global Leader Network Development Grant Thornton.
Dia mencontohkan perbedaan mencolok yang ditunjukkan kedua negara yang berseteru. Yang mana optimisme pelaku bisnis Amerika Serikat turun 11 persen menjadi 78 persen di kuartal II.
Sebaliknya, Tiongkok justru mencatat kenaikan 14 persen ke level 79 persen. Berdasar Grant Thornton IBR ini, kali pertama pelaku bisnis Tiongkok meraih optimisme bisnis lebih tinggi dibanding Amerika Serikat sejak akhir 2012.
Menilik angka optimisme pada kuartal II 2018, terlihat perbedaan respons pelaku bisnis di kedua negara terhadap perang dagang ini.
Seperti diketahui, pemerintahan Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump menaikkan tarif bea masuk 1.300 produk teknologi industri, transportasi, dan medis dari Tiongkok, yang langsung direspons pemerintah Tiongkok dengan menerapkan tambahan tarif bea masuk untuk 106 produk impor dari Amerika, terutama produk pertanian, mobil, hingga pesawat terbang.
Prediksi pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat tahun ini yang berada di kisaran 2-3 persen, diyakini para ekonom justru merasakan imbas yang lebih buruk akan adanya perang dagang dibandingkan pelaku bisnis di Tiongkok dengan pertumbuhan ekonomi 6-7 persen.