Dua Hal Ini Diduga Jadi Pemicu Kisruh Impor Beras antara Bulog dengan Kemendag
Ia menilai ada dua hal yang melatarbelakangi konflik tersebut yakni masalah koordinasi dan sumber data yang digunakan.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bidang Ekonomi KH Umar Syah turut mengomentari kisruh impor beras antara Bulog dan kementerian Perdagangan.
Ia menilai ada dua hal yang melatarbelakangi konflik tersebut yakni masalah koordinasi dan sumber data yang digunakan.
“(Konflik) Ini mengemuka lantaran, pertama koordinasi dua kementerian dan Bulog yang belum optimal. Kemudian yang kedua adalah penggunaan sumber data yang belum ada keseragaman,” ujar Umarsyah dalam keterangannya, Senin (24/9/2018).
Kondisi seperti saat ini, kata Umar Syah, tidak akan terjadi jika Kementerian Perdagangan mendengarkan masukan dari Bulog dan Kementerian Pertanian sebelum mendatangkan beras impor.
"Yang terpenting adalah menurunkan ego sektoral, terutama Kementerian Perdagangan yang kerap merasa menjadi leader untuk masalah impor-ekspor dan mengabaikan kementerian teknis yang membidangi masalah itu,” kata Umarsyah.
Baca: 7 Langkah Presiden dalam Menyelesaikan Kisruh Impor Beras versi Ombudsman RI
Dalam pandangannya, selama ini Kementerian Pertanian menunjukkan kinerja yang baik, misalnya Operasi Khusus padi, jagung dan kedele (Pajale), yang meningkatkan produktivitas dalam negeri. Karena besarnya partisipasi para petani terutama dengan adanya insentif dari Kementerian Pertanian.
Terbukti dalam menghadapi lebaran lalu baik Idul Fitri dan Idul Adha, ketersediaan beras terjamin sehingga tidak ada gejolak harga di pasar.
“Indikasinya pertama harganya stabil, kedua ketersediaan barang di pasar induk dan tradisional, dan dalam lebaran kemarin aman. Buktinya tidak ada gejolak. Kalau memang tidak mencukupi stok beras akan ada gejolak. Nah keberhasilan seperti opsus ini yang tidak mau dilihat dan didengar oleh Kementerian Perdagangan,” kata Umar Syah.
Selain itu, masalah data perlu disamakan antara kementerian dan lembaga yang membidangi satu persoalan. Ia menambahkan, data yang digunakan kedua kementerian dan lembaga semestinya yang berasal dari lembaga yang sudah qualified dan kredibel. "Misalnya menggunakan data BPS," katanya.
KH Umar Syah mengakui bahwa harga beras impor bisa lebih murah dari pada beras lokal, karena biaya produksi beras lokal yang masih tinggi. Akan tetapi mendatangkan beras impor dapat membahayakan harga jual lokal beras petani lokal.
Besarnya biaya produksi beras lokal dipicu tidak efisiennya metode tanam dari petani beras lokal dibanding petani luar, terutama pada aspek penggunaan teknologi dalam ssitem pertanian.
Akan tetapi mendatangkan beras impor berlebihan dianggapnya dapat membahayakan nasib para petani dalam negeri. Sebab hidupn para petani bergantung pada penjualan panen yang terancam kalah saing dengan beras impor yang lebih murah.
“Ini masalah keberpihakan. Pemerintah seharusnya lebih berpihak kepada para petani. Nah, kalau beras impor didatangkan berlebihan maka mengancam beras lokal. Lalu saya tanya, Kemendag ini bekerja untuk siapa?” kata Umarsya