PLN Diminta Terima Semua Kualitas Batubara Demi Penuhi DMO
Kebijakan pemenuhan batubara untuk kepentingan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) sejatinya sudah berjalan.
Editor: Hendra Gunawan
Laporan wartawan Tribunkaltim.co Muhammad Arfan
TRIBUNNEWS.COM, TANJUNG SELOR - Kebijakan pemenuhan batubara untuk kepentingan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) sejatinya sudah berjalan.
Namun Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kalimantan Utara menilai ada kelemahan dalam kebijakan yang tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 23 K/30/MEM/2018 tentang Penetapan Presentase Minimal Penjualan Batubara untuk Kepentingan Dalam Negeri itu.
Kepala Dinas ESDM Kalimantan Utara Ferdy Manurun Tanduklangi mengungkapkan, kelemahan kebijakan itu ada pada standarisasi kadar GAR (Gross Air Received) yang diputuskan berdasarkan standar PT PLN.
"Jadi GAR-nya ditentukan oleh PLN. Sementara kualitas batubara kita berbeda-beda. Ada yanh di bawah standar PLN, ada yang di atas, ada juga yang sama," sebut Ferdy saat disua Tribunkaltim.co, Selasa (25/9/2018).
Yang menjadi masalah ketika standar GAR di bawah standar PLN. Misal kata Ferdy, nilai GAR batubara di Bulungan cenderung rendah. PLN pada akhirnya tidak mau membeli batubara dari Bulungan.
"Seharusnya apapun hasil tambang tetap diterima. Misalnya kualitas GAR di Bulungan 3,3. Sedangkan standar PLN 4,2. Masa disuruh blanding lagi. Perusahaan pasti rugi. Kalau yang GAR-nya tinggi tidak masalah," sebutnya.
Resiko lain yang timbul adalah ancaman sanksi penurunan kuota produksi perusahaan. Jika perusahaan tidak memenuhi 25 persen dari kuota produksi, maka kuotanya akan diturunkan menjadi hanya 1/4 persen.
"Kami akan merespon ini. Sedang kami konsep surat untuk ditujukan ke Dirjen Minerba. Artinya janganlah salahkan juga kalau tidak ada penjual. Karena perusahaan sudah mengusulkan ke PLN tetapi ditolak karena tidak memenuhi standar GAR tadi," sebutnya.
"Seharusnya apapun kualitas batubara dari daerah, PLN beli saja agar mereka bisa memenuhi 25 persen kuota DMO," sebutnya.
Sebelumnya, Kalimantan Utara juga terkena kebijakan penurunan kuota produksi batubara hingga Gubernur Kalimantan Utara bersurat dan menghadap Kementerian ESDM meminta kuota produksi batubara Kalimantan Utara dikembalikan menjadi 12,5 juta ton tahun ini, menyamai kuota tahun 2017.
"Sekarang kita diturunkan menjadi 9,3 juta ton Semua daerah juga diturunkan. Tetapi untuk Kalimantan Utara sangat terasa. Karena kita kecil aja. Mungkin di atas itu atau di provinsi lain produksinya sudah mencapai 15-20 juta ton per tahun," kata Irianto.
Pengurangan kuota produksi batubara lanjutnya mengakibatkan turunnya penerimaan Kalimantan Utara dari dana bagi hasil royalti, kemungkinan terjadinya PHK karyawan, mengganggu komitmen perusahaan batubara terhadap mitra pembelinya di dalam maupun luar negeri.
"Termasuk menurunkan nilai ekspor kita dan bisa mengganggu atau menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi maupun kegiatan ekonomi masyarakat," katanya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.