Pekan Depan, Rupiah Diprediksi Masih Anjlok
Rupiah diprediksi akan kembali bergejolak dalam sesi perdagangan besok, Senin (8/10/2018) di kisaran Rp 15.110-15.240 per dollar AS.
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rupiah diprediksi akan kembali bergejolak dalam sesi perdagangan besok, Senin (8/10/2018) di kisaran Rp 15.110-15.240 per dollar AS.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira mengatakan, pelemahan rupiah terjadi secara konsisten hingga akhir September.
Naiknya suku bunga acuan Bank Indonesia dan intervensi cadangan devisa kali ini rupanya tak mempan mengendalikan rupiah.
Menurut Bhima, ada sejumlah faktor yang membuat rupiah kian melemah. Pertama, faktor global dipengaruhi oleh Yield Treasury 10 tahun atau surat utang AS yang telah mencapai 3,23 persen.
"Hal ini menandakan ekspektasi pelaku pasar terhadap ekonomi dunia dalam jangka panjang cenderung memburuk. Investor memburu instrumen utang AS sebagai flight to quality atau mencari aset yang aman," ujar Bhima dalam keterangan tertulis, Minggu (7/10/2018).
Selain itu, tingkat pengangguran AS mencapai 3,7 persen atau terendah dalam 18 tahun terakhir. Data tenaga kerja AS per September meningkat 134.000 orang.
Baca: Budiman Sudjatmiko Tantang Debat Fadli Zon, Fahri Hamzah, Rocky Gerung hingga Dahnil Anzar
Bhima mengatakan, kondisi ini mendorong lonjakan inflasi dalam jangka pendek di AS sehingga Fed rate diprediksi naik satu kali lagi tahun ini, empat kali di 2019, dan dua kali di 2020. Shock dari kenaikan Fed rate membuat investor menarik dana bertahap dari negara berkembang.
"Kemudian mereka memilih investasi di aset berdenominasi dollar," kata Bhima.
Saat itu, dollar index berada di level 95.4 dan masih berpeluang naik. Ini menandakan era super dollar masih akan membayangi perekonomian negara berkembang. Perng dagang AS-China yang kian memburuk masih memperparah kondisi perekonomian global. Keduanya tak mencapai kesepakatan dalam negosiasi.
Goldman Sachs menganalisis trade war akan menurunkan profit korporasi besar di hampir seluruh dunia secara gradual. Dari Eropa, polemik Brexit dan defisit anggaran Italia menjadi momok yang menakutkan bagi pelaku pasar.
"Outlook mata uang Euro masih bearish atau melemah terhadap USD," kata Bhima.
Di samping itu, harga minyak mentah diprediksi masih melonjak meski sempat menurun tipis di 84.16 dollar per barel untuk jenis Brent. Bhima mengatakan, tekanan harga minyak membuat defisit migas melebar pada akhirnya memperburuk current account deficit.
Hingga akhir tahun, kata dia, faktor utama pelemahan kurs rupiah adalah kenaikan harga minyak mentah dan tingginya impor khususnya menyambut Natal dan Tahun Baru di mana penggunaan transportasi meningkat.
Sementara faktor dari domestik yang mempengaruhi nilai tukar rupiah yakni pelaku pasar masih menunggu rilis data neraca perdagangan bulan September 2018 yang rencananya akan dirilis sekitar tanggal 16 Oktober mendatang.
Tekanan pada defisit migas yang melebar hingga Agustus tercatat sebesar 8,3 miliar dollar AS atau naik 3 miliar dolla AS dibanding posisi yang sama tahun lalu.
Di sisi lain, penyelenggaraan IMF-World Bank Annual Meeting di Bali memberi angin segar bagi pelaku pasar, terutama sentimen pembahasan mengenai arah kebijakan moneter global dan upaya pencegahan terhadap krisis ekonomi.
"Sebagai tuan rumah, terdapat beberapa program kerjasama investasi yang akan ditawarkan pada delegasi dari 189 Negara peserta rapat tahunan," kata Bhima.
Sementara untuk IHSG, masih dibayangi aksi jual oleh investor asing. Net sales asing dalam seminggu terakhir mencapai Rp 2,39 triliun di pasar saham. Performa IHSG dalam seminggu terakhir menurun 4,09 persen.
"Koreksi masih berlanjut hingga pekan depan," pungkas Bhima.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Rupiah Diprediksi Masih Anjlok Pekan Depan, Ini Sebabnya"