Edy Ongkowijaya, Maestro Bisnis Kuliner Indonesia Dari Singapura
Meraih sebuah kesuksesan memang pastinya tak semudah membalikan kedua telapak tangan. Butuh perjuangan ekstra keras untuk menggapai kesuksesan.
Penulis: FX Ismanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fx Ismanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Meraih sebuah kesuksesan memang pastinya tak semudah membalikan kedua telapak tangan. Butuh perjuangan ekstra keras untuk menggapai kesuksesan. Hal inilah yang telah dilakoni oleh Edy Ongkowijaya. Warga Indonesia kelahiran 1977 ini merasakan betul pahitnya perjuangan dan ombak pasang surut kehidupan menuju kesuksesan. Apalagi sejak usia 18 dirinya sudah merantau di negeri orang Singapura.
Namun siapa sangka, kehidupan bak roda berputar. Berkat kegigihan dan ketekunannya dalam bekerja, dia menjadi seorang maestro bisnis kuliner sukses hinga melebarkan sayap ke 5 negara Jaringan bisnis D'PENYETZ saat ini telah hadir di Singapura, Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam dan Myanmar. Tahun 2019 akan melebarkan sayap ke negara ke 6 yaitu Australia.
Pada tahun 1993, Edy meninggalkan Indonesia untuk awalnya melanjutkan sekolah Secondary School di Singapura. Namun, hanya setahun kemudian usaha otomotif milik Ayahnya bangkrut. Edy sempat diminta kembali ke Indonesia oleh orang tuanya karena sudah tidak bisa dikirim biaya lagi. Hanya saja, permintaan itu tak lantas ia turuti.
Edy lebih memilih berjuang mandiri. Mulailah penderitaan hidup dirasakan dari anak ke dua dari 3 bersaudara ini. Yang dulunya tidak pernah merasakan hidup susah, apalagi saat itu teman temannya di Singapura ramai yang dari kalanagan anak keluarga berada. Selaen harus membiayai hidup dan uang sekolah, Edy juga gantian mengirim uang belanja ke orang tuanya dan membantu adik perempuannya bersekolah juga di Jakarta.
Apapun pekerjaan halal dilakukan agar bisa tetap menuntut ilmu di negeri singa itu hingga pernah menggeluti 4 pekerjaan. Pekerjaan sebagai tukang cuci piring dan waiter di restoran dan hotel sempat dilakoninya. Di minggu yang sama juga menjadi guru les privat (tuition) dan juga melatih badminton basic untuk anak SD. Untuk tempat tinggal, pernah beberapa kali ia terpaksa menumpang di rumah temannya.
Tak hanya itu, Edy juga pernah mengalami bagaimana susahnya hidup di Singapura hanya dengan mengandalkan uang 50 cents dalam hidupnya. Atau bila di rupiahkan berarti sekitar Rp 5.000 (kurs sekarang). Untuk mengisi perut setelah selesai kuliah, misalnya, ia harus mengandalkan kemurahan hati pemilik kantin di sekolah untuk membungkus sisa lauk yang mau dibuang. Bahkan, Edy pernah makan mie instan dan roti tawar selama hampir 1 bulan lamanya.
Hampir-hampir Edy patah semangat manakala dirinya mempunyai seorang pacar dari kalangan orang yang sangat berada. Namun, rupanya orang tua sang pacar tidak meridoi jalinan kasih pasangan ini. "Waktu masih susah, saya pernah pacaran dengan anak berada. Ibunya telepon dan mengucapkan satu kalimat yang nggak akan pernah bisa saya lupa. Katanya, ‘Kamu mau kasih makan apa anak saya? Mulai sekarang kamu tidak boleh berhubungan dengan anak saya lagi!” ungkap Edy Ongkowijaya saat ditemui Tribunnews.com di Jakarta belum lama ini.
Penghinaan itu justru jadi pelecut semangatnya. “Saya sengaja tempel foto ibunya di atas tempat tidur double decker saya. Setiap kali buka mata dan merasa sangat capek, atau ketika serasa mau menyerah, begitu saya lihat foto ibu pacarnya langsung saya semangat kembali mengingat hinaannya, ” ceritanya.
Ada satu prinsip hidup yang dipegang teguh Edy saat itu yang dipesan oleh Ayahnya. Yaitu apa yang direndahkan oleh manusia, suatu hari akan ditinggikan oleh Tuhan. Satu poin penting yang bisa dipetik, meski dalam keadaan sederhana dirinya tidak merasa minder atau gengsi.
Pada tahun 2000, Edy lulus kuliah dari Universitas Nanyang Polytechnic Jurusan Marketing. Dia sempat bekerja di sebuah perusahaan logistik asal Jepang. Meski gajinya lumayan pas pasan , ia bisa membawa adik perempuannya ke Singapura untuk melanjutkan kuliah.
Edy hanya bertahan tiga tahun kerja di perusahaan tersebut. “Saya dari dulu kerja banyak geraknya. Disuruh diam duduk di depan komputer nggak betah," ujarnya.
Hingga pada tahun 2004, Edy tertarik untuk membuka bisnis waralaba Es Teler 77 di Far East Plaza (Orchard Road). Dirinya dipinjami modal oleh seseorang untuk membeli waralaba ini dan berjalan dengan sukses. Hingga pada suatu saat di tahun 2006 dirinya melepas bisnis Es Teler 77 dan memulai ayam penyet dengan salah satu brand waralaba di Lucky Plaza (Orchard Rd). Berkat usaha gigihnya dan koneksi dengan media Singapura, dalam waktu singkat ayam penyet menjadi sensasi dan semakin dikenal masyarakat Singapura.
Pelanggan yang ingin makan di restorannya sampai harus rela antri. Hal ini pun jadi sensasi baru bagi usahanya. Karena kesuksesan usahanya ini juga, pihak kampus tempatnya kuliah Nanyang Polytechnic dan beberapa asosiasi lainnya di Singapura sering mengundangnya untuk berbagi ilmu mengenai entrepreunership.
Mendirikan D'PENYETZ
Gelombang hidup kembali lagi melanda ketika kemitraan berujung perpisahan. Tidak hanya sekali tapi hingga 2 kali. “Di kemitraan yang kedua lebih parah, karena bareng dengan 2 teman lama dulu seangkatan sekolah ketika secondary school. Semua perjuangan berakhir sia sia. Selama 2 tahun tidak ada laporan pembukuan dan pembagian dividen” ujarnya. Tapi setiap kejadian selalu memberi hikmah dan banyak pelajaran yang dipetik untuk menjadi modal hidup.
Berawal dari semangat mendirikan usaha sendiri akhirnya pada tahun 2009 Edy memutuskan untuk membuka usahanya sendiri dengan nama Dapur Penyet yang awalnya hanya berawal dari gerai foodcourt yang ada di Jurong Point Mall.
Di tahun pertama membuka usahanya, ia hampir ikut melakukan semua tugas, walaupun telah memiliki karyawan. Selain mengurus manajerial, ia juga bertugas di dapur, di counter,closing cleaning dan membuang sampah. Ia selalu katakan kepada karyawannya, “ You don’t work for me, but you work WITH me.” sehingga banyak pegawai yang setia kepadanya karena kerendahan hati dan semangatnya dalam berusaha.
Satu kunci yang ia lakukan, WORK HARD dan SEMANGAT BAJA (bukan semangat tempe). Edy terus berusaha tanpa lelah untuk membangun D'PENYETZ untuk menjadi restoran Indonesia yang bisa mendunia nantinya. Usahanya pun tak sia-sia. Kini, D'PENYETZ sudah memiliki lebih dari 100 outlet dan tersebar di lima negara. Impiannya untuk bisa mewakili dan membawa kuliner Indonesia untuk go global. Untuk negara berikutnya D'PENYETZ akan masuk ke Australia (Melbourne) dan target ke depannya adalah Amerika Serikat, Canada dan Timur Tengah.
Selain dari brand D'PENYETZ, Edy bersama team juga menaungi beberapa brand lain yaitu D'BAKSO, D'CENDOL. D'MINANG dan sedang progress untuk beberapa innovasi innovasi baru untuk visi ke depannya termasuk membangun Culinary & Hospitality Training Centre di Indonesia.
Meski telah sukses, Edy tetap menjadi sosok tipikal pengusaha muda yang sederhana dan selalu membimbing dan mengembangkan setiap team individu untuk bisa maksimal. Kegiatan bakti sosial dan penyantunan ke yayasan yatim piatu sering dilakukan bersama dengan teamnya.
Bagi seorang Edy Ongkowijaya, semua liku liku kehidupan dan cemohan adalah modal utama untuk bisa menjadi kisah sukses nantinya. “Ingat pesan saya, apa yang direndahkan oleh Manusia, suatu hari PASTI akan ditinggikan oleh Tuhan. Hormatilah dan bahagiakanlah juga orang tua yang melahirkan kita. Doa ibu adalah doa yang sangat ampuh mujarab dan paling berharga di mata Tuhan” tutupnya.