Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Industri Properti Dinilai Sulit Berkembang Karena Masih Berbelitnya Perizinan di Daerah

Alhasil ini kondisi ini tidak sejalan dengan program pemerintah untuk memenuhi satu juta rumah bagi masyarakat kecil.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Industri Properti Dinilai Sulit Berkembang Karena Masih Berbelitnya Perizinan di Daerah
WARTA KOTA/MUHAMAD AZZAM
Proyek megaproperti Meikarta di Cikarang, Bekasi. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -  Di tengah lesunya bisnis properti, para pengembang masih saja menemukan hambatan soal perizinan dari pemerintah daerah sehingga membuat harga properti di dalam negeri sulit di jangkau masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Alhasil ini kondisi ini tidak sejalan dengan program pemerintah untuk memenuhi satu juta rumah bagi masyarakat kecil.

Tengok saja, kasus suap Meikarta menjadi gambaran bahwa perizinan properti masih sulit.

Hal inipun diakui Anggota Komisi II DPR RI dari Partai Gerindra, Edi Prabowo.

Disampaikannya, perizinan birokrasi yang berbelit-belit akan menghambat iklim investasi dan termasuk di industri properti.

”Seharusnya dalam mendorong roda perekonomian, seperti menarik investor dari dalam dan luar negeri harus dipermudah perizinan dan bukan sebaliknya dipersulit,“ ujarnya ketika dihubungi wartawan, Jumat (23/11/2018).

Dirinya menuturkan, kasus suap Meikarta tidak hanya dilihat dari kesalahan pihak swasta tetapi juga pemerintah daerah yang harus terbuka sehingga tercipta iklim investasi yang kondusif.

Berita Rekomendasi

Namun demikian, dia berpendapat lesunya bisnis properti saat ini tidak semata soal faktor hambatan perizinan birokrasi semata tetapi juga daya beli masyarakat yang menurun.

Sementara F. Rach Suherman, konsultan bisnis properti menuturkan, di era otonomi daerah memiliki ekses disharmonisasi regulasi.

Baca: KPK Periksa Wakil Bupati Bekasi Soal Perizinan Meikarta

Dimana paket kebijakan ekonomi XIII Jokowi yang sejatinya bagus tetapi terhambat berbagai peraturan daerah (Perda) lama yang belum banyak diubah oleh banyak pemerintah daerah.

“Contoh nyata adalah penurunan PPh 5% jadi 2.5%, sama sekali tidak digubris daerah sehingga BPHTB tetap 5% dan hal ini karena PAD. Kepentingan pusat-daerah membuat dunia usaha terjepit diantara "dua raja",”ungkapnya.

Padahal perencanaan bagi pengembang harus lekas jalan karena ada cost of money.

Ke depan menurutnya perlu menekan dugaan praktek suap di sektor properti dan sektor lainnya sehingga model perijinan satu atap dan penyederhanaan meja-meja perizinan seharusnya sudah menjadi tekad pemerintah.

Praktek inipun, kata F Rach Suherman, sebenarnya sudah dilakukan pemerintah dan hasilnya lumayan membaik. Seperti memakai Key Performance Indicator (KPI) yang diatur Menpan&RB bersama Pemda.

Dimana ijin A sekian hari kelar, B sekian hari dan sanksi yang tidak mencapai, langsung ganti pejabat baru.

Pengawasan publik, lanjutnya sangat diperlukan dan hal ini bisa dilakukan lewat informasi digital. Hal senada juga disampaikan Ali Tranghanda, CEO Indonesia Property Watch, kasus suap Meikarta tidak bisa lepas dari berbelitnya perizinan.

”Meskipun pemangkasan sudah terjadi, tapi praktek dilapangan masih terjadi sehingga suapun tidak bisa dihindari dan ironisnya saat ini pengawasan belum efektif,” tuturnya.

Menurutnya, untuk penyediaan rumah sederhana seharusnya menjadi domain Pemda. Namun sayangnya saat ini belum semua Pemda aware dan hal ini tidak lepas terkait keterbatasan sumber daya manusia dan juga keterbatasan sosialisasi.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas