Ekonom: Pelemahan Rupiah Bukan karena Aksi Spekulan
Pelemahan Rupiah yang kembali ke level Rp 14.500 per dolar AS bukan karena adanya aksi spekulan untuk mengambil keuntungan (profit taking).
Penulis: Syahrizal Sidik
Editor: Fajar Anjungroso
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Syahrizal Sidik
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Laju mata uang garuda pada perdagangan Kamis (6/12/2018) bergerak melemah ke level Rp 14.520 per dolar AS.
Sebelumnya, pada pembukaan perdagangan, laju Rupiah melemah pada posisi Rp 14.482 per dolar AS
Di pasar spot, hari ini Rupiah ditransaksikan pada kisaran Rp 14.482 - Rp 14.570 per dolar AS.
Adapun, berdasarkan acuan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate Bank Indonesia, Rupiah ditutup melemah ke level Rp 14.507 per dolar AS dari posisi sebelumnya Rp 14.383 per dolar AS.
Ekonom PT Bank Danamon Tbk (BDMN) Wisnu Wardana menegaskan, pelemahan Rupiah yang kembali ke level Rp 14.500 per dolar AS bukan karena adanya aksi spekulan untuk mengambil keuntungan (profit taking).
“Tidak ada profit taking, justru investor asing itu dalam kondisi market indonesia harus dibeli. Profit taking terjadi di Februari hingga Agustus. Makanya rating Rupiah meningkat,” kata Wisnu, saat memaparkan Proyeksi Ekonomi 2019 di Menara Bank Damanon, Jakarta, Kamis (6/12/2018).
Lebih lanjut, Wisnu menjelaskan, yang menjadi penyebab utama pergerakan Rupiah saat ini adalah neraca pembayaran Indonesia yang masih defisit.
Baca: Bila Capres No 2 Terpilih, Ekonom Danamon Prediksi BBM Naik Setelah Oktober 2019
Berdasarkan data Bank Indonesia, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan III 2018 tercatat mengalami defisit karena defisit transaksi berjalan yang meningkat tidak dapat dibiayai oleh surplus transaksi modal dan finansial.
“Neraca pembayaran masih dalam kondisi tertekan. Itu lah yang bikin bergerak. Dibandingkan negara lain, kita bedanya di situ,” ungkapnya.
Bank Indonesia mencatat, peningkatan defisit transaksi berjalan menjadi sebesar 3,37 persen terhadap PDB terutama dipengaruhi oleh penurunan kinerja neraca perdagangan barang, khususnya karena meningkatnya defisit neraca perdagangan migas, sementara peningkatan surplus neraca perdagangan barang nonmigas masih relatif terbatas.
“Defisit neraca transaksi berjalan yang meningkat juga bersumber dari naiknya defisit neraca jasa, khususnya jasa transportasi, sejalan dengan peningkatan impor barang dan pelaksanaan kegiatan ibadah haji,” tulis Bank Indonesia, dalam laporan Neraca Pembayaran Indonesia, Realisasi Triwulan III-2018.
Analis Senior CSA Research Institue Reza Priyambada berpendapat, Rupiah kembali melanjutkan pelemahannya terimbas kembali menguatnya dolar AS.
Hal ini setelah pelaku pasar memanfaatkan pelemahan sebelumnya sejak diberitakannya rencana pertemuan antara Presiden Trump dan Presiden Xi Jinping.
Pertemuan itu untuk membahas kesepakatan dagang di antara keduanya. Pelemahannya juga dialami sejumlah mata uang di Asia, sehingga berimbas negatif pada Rupiah.
“Minimnya sentimen dan telah berlalunya sentimen positif dari internal makroekonomi Indonesia membuat pelaku pasar berbalik mencermati dolar AS,” kata Reza.