Perang Dagang Belum Mereda, Rupiah Berbalik Melemah
Mirza menyebut, pelemahan kurs, tidak hanya dialami Indonesia, tapi juga negara-negara lainnya.
Penulis: Syahrizal Sidik
Editor: Fajar Anjungroso
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Syahrizal Sidik
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Bank Indonesia menyatakan, belum meredanya ketegangan perang dagang antara Amerika Serikat dengan China menjadi salah satu sentimen negatif yang menyebabkan kurs Rupiah kembali melemah.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara, di Kompleks Bank Indonesia, Jumat (7/12/2018) menyampaikan, dalam tiga hari belakangan ini, Rupiah berbalik melemah ke posisi 14.500 per dolar AS. Padahal, Rupiah sempat menguat ke level Rp 14.200 per dolar AS pekan lalu.
Mirza menyebut, pelemahan kurs, tidak hanya dialami Indonesia, tapi juga negara-negara lainnya. Menurutnya, faktor melemahnya rupiah lebih disebabkan oleh faktor eksternal, lantaran belum adanya kesepakatan antara pertemuan Amerika Serikat dan China saat pertemuan G-20 di Buenos Aires, Argentina beberapa waktu lalu.
“Ada harapan perang dagang AS - China itu mereda, pada waktu pertemuan G-20, kemudian ternyata perang dagang belum mereda,” ungkapnya.
Belum meredanya eskalasi perang dagang itu, misalnya diinterpretasikan pelaku pasar oleh ditangkapnya salah satu petinggi Huawei turut direspon negatif sehingga terjadi aksi jual saham di Amerika Serikat, hal itu juga berimbas ke bursa saham negara emerging.
Mirza menambahkan, aksi jual saham di Negeri Paman Sam itu lantaran pelaku pasar mengkhawatirkan perlambatan ekonomi, hal itu terlihat dari kurva surat utang Amerika Serikat yang turun.
Baca: Ada Potensi Kurs Rupiah Menguat Sampai Akhir Tahun
“Pelaku pasar akan bereaksi lebih awal, jadi itu yang kita lihat kenapa terjadi pelemahan kurs negara berkembang setelah minggu lalu mengalami pengutan dan ada pelemahan kembali,” tuturnya.
Analis Senior CSA Research Institue Reza Priyambada berpendapat, pelemahan Rupiah terimbas menguatnya laju dolar AS. Sementara, adanya sejumlah sentimen positif dari dalam negeri belum cukup membuat laju Rupiah menguat.
Kata Reza, sentimen positif tersebut di antaranya, pernyataan yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani di mana defisit anggaran hingga November 2018 mencapai Rp 287,9 triliun atau 1,95 persen dari PBD atau lebih rendah dari rencana APBN sebesar 2,19 persen.
Realisasi belanja negara hingga November 2018 tercatat mencapai Rp 1.942,4 triliun atau 87,5 persen dari target APBN 2018 dengan pertumbuhan sebesar 11 persen
“Optimisme Pemerintah terkait pertumbuhan ekonomi di tahun ini dapat mencapai 5,2 persen juga belum mampu membuat Rupiah menguat,” kata Reza.