Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Fahri Hamzah: Divestasi Freeport, Skandal Utang Gelap Inalum

Fahri meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) andil mengaudit Inalum menyusul adanya potensi angka kerugian terhadap kerusakan lingkungan mencapai Rp 1

Penulis: Reynas Abdila
Editor: Choirul Arifin
zoom-in Fahri Hamzah: Divestasi Freeport, Skandal Utang Gelap Inalum
ISTIMEWA
Tambang Grasberg PT Freeport Indonesia. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Fahri Hamzah mengatakan, proses transaksi divestasi saham PT Freeport Indonesia penuh kabut alias tidak ada transparansi, terutama menyangkut konsorsium bank-bank pemberi pinjaman utang untuk BUMN PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) Tbk. yang bertindak sebagai pembeli saham yang didivestasi oleh Rio Tinto sebagai salah satu pemegang saham PT Freeport Indonesia.

“Seperti rentenir kasih pinjam uang,” kata Fahri Hamzah di acara diskusi ‘Divestasi Freeport: Indoensia Untung atau Buntung?’ di Jakarta, Rabu (16/1/2019).

Fahri mengurai bahwa terjadi indikator skandal utang, ia menyebutnya utang gelap. Dugaan Fahri adanya permainan antar ‘pemilik uang’ dengan pihak ‘peminjam’.

“Perusahan dan konsorsium mana yang terlibat? Kalau mau jelas serahkan saja dokumen ke DPR. Bagaimana anda punya utang gitu tapi principalnya DPR ini tidak diajak/dikasih tau utang apa,” sebutnya.

Baca:  TERPOPULER - Foto #10YearsChallengenya Dicemooh, Ayu Ting Ting Sewot: Gue Cantik

Fahri mempertanyakan bank-bank asing yang mengucurkan dananya kepada Inalum untuk mengakuisisi saham Freeport 51 persen.

 “Utang-utang bank dari Tiongkok itu nggak pernah dijelaskan DPR tiba-tiba tandatangan utang. Saya pikir nggak etis juga berutang banyak untuk dibebankan ke pemerintahan yang akan datang.”

Berita Rekomendasi

Fahri meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) andil mengaudit Inalum menyusul adanya potensi angka kerugian terhadap kerusakan lingkungan mencapai Rp 185 triliun. 

Kerusakan ekosistem tersebut salah satunya disebabkan akibat pembuangan limbah tailing.

Hasil pemeriksaan BPK terhadap pelaksanaan Kontrak Karya Freeport Indonesia pada 2013-2015 menyebut kegiatan tambang perusahaan tersebut di Papua memicu kerusakan lingkungan.

Baca: Ekonom UGM Tony Prasetiantono Meninggal Dunia Tadi Malam

“Ini nampak juga di dalam perhitungan yg sangat ilmiah (pembebasan smelter, pemunduran pembayar defiden kepada Inalum, temuan BPK sebelumnya Rp 185 triliun). Indikator ini sebenarnya membuat BPK beralih dari audit lama soal Rp 185 triliun menjadi audit pembelian saham.”

Untuk diketahui, kepemilikan saham Inalum di PT Freeport Indonesia sebelum divestasi adalah 9,36%. Untuk menaikkan porsi kepemilikan saham menjadi 51,23% Inalum membutuhkan dana US$ 3,85 miliar atau setara Rp 54 triliun.

Angka US$ 3,85 miliar tersebut mengacu pada hasil negosiasi Inalum, dengan Freeport McMoRan (FCX) dan Rio Tinto.

Angka itu pernah disebut lebih rendah dibanding dari nilai yang pernah diajukan FCX ke Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebesar US$ 12,15 miliar, surat Menteri ESDM ke FCX US$ 4,5 miliar, dan hasil valuasi Morgan Stanley US$ 4,67 miliar.

Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin saat menjawab pertanyaan dari anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Rapat Dengar Pendapat, Selasa (15/1/2019) lalu menyatakan, Inalum membeli saham PT Freeport Indonesia senilai US$3,85 miliar dari duit pinjaman.

Dana segar tersebut didapat dari hasil penerbitan surat utang (obligasi) korporasi. Pihaknya tidak memilih pinjaman dari sindikasi perbankan demi mencegah krisis arus kas perusahaan di periode 2019-2020.

Budi menjelaskan, menggunakan pinjaman sindikasi perbankan akan membuat perseroan mengalami krisis arus kas di periode tersebut. lantaran perseroan tak memperoleh pendapatan maksimal selama dua tahun ke depan.

Ini karena tambang bawah tanah yang berada di tambang Grasberg yang baru akan mulai beroperasi 2021 mendatang.

Menurut Budi Gunadi Sadikin, cicilan pokok ini harus dipenuhi lebih awal sehingga akan membebani cash flow (arus kas) Inalum pada 2019 dan 2020, ketika tambang bawah tanah belum beroperasi.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas