Ada Wacana soal Tax Amnesty Jilid II, Rizal Ramli: Pertama Gagal Total, yang Ini Konyol
Menurut Rizal Ramli, program tax amnesty sudah terbukti gagal dan sudah dirasakan negara lain.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM. JAKARTA - Ekonom senior Rizal Ramli menyinggung tax amnesty jilid II yang diwacanakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Menurut Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman ini, program tax amnesty sudah terbukti gagal dan sudah dirasakan negara lain.
"Ide tax amnesty kedua ini benar-benar konyol. Yang pertama sudah gagal total," katanya dalam diskusi di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Senin (12/8/2019).
Kegagalan tersebut berdasarkan capaian rasio jumlah pajak (tax ratio) yang dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) di masa yang sama.
Berdasarkan data yang dipaparkan, tax ratio dari 2010 ke 2018 terus menurun, dari 9,52 persen menjadi 8,85 persen.
Baca: Bukan Main, Mesin Yamaha XMAX Dibikin Bengkak Jadi 2 Silinder 500 cc
Baca: Komplotan Pengedar Ribuan Pil Dobel L Diringkus Polisi di Rumahnya Kediri, Libatkan Remaja 17 Tahun
Itu hanya rasio pajak tanpa dihitung dengan bea dan cukai, serta royalti dari SDA migas dan tambang.
Sementara tax ratio keseluruhan turun dari 13,61 persen pada 2010 menjadi 11,45 persen pada 2018.
Rizal menilai capaian pajak rendah membuat pemerintah akhirnya harus berutang untuk belanja negara.
"Kalau buat saya ini Menteri Keuangan terbalik. Kalau terbaik itu kan buat asing. Kalau buat ekonomi Indonesia malah terbalik. Karena tugas Menkeu meningkatkan tax ratio agar kita tidak tergantung utang,” paparnya.
Baca: Ternyata PLN Nyaris Bangkrut Dikerjai Perusahaan Asing, Rizal Ramli Cari Akal: Pertama dalam Sejarah
Baca: Rizal Ramli: Menyerang Indonesia Gampang Sekali, Matiin Saja Listriknya
Pertumbuhan Ekonomi Bakal Meleset
Rizal Ramli juga memprediksi laju pertumbuhan ekonomi akan turun drastis dari target yang ditentukan pemerintah di atas 5 persen.
“Dari target pemerintah 5,2 persen, dugaan kami akan nyungsep terus menjadi 4,5 persen. Indikator makro ekonomi menunjukkan (pertumbuhan) makin merosot,” papar Rizal dalam diskusi di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Senin (12/8/2019).
Di kesempatan tersebut, Rizal memaparkan defisit neraca transaksi berjalan meningkat dari 7 miliar dolar AS atau 2,6 persen dari produk domestik bruto/PDB pada kuartal sebelumnya menjadi 8,4 miliar dolar AS atau 3,0 persen dari PDB.
Baca: Perluas Jangkauan, Aplikasi SpotQoe.com Hadirkan Lebih dari 3.600 Ruang Meeting
Menurut dia, angka ini sangat berbahaya sebab anggaran negara yang merosot menjadi sasaran tembak pihak luar.
“Saya tegaskan pemerintah bahwa ekonomi itu bukan hanya soal proyek. Mohon maaf tapi ada banyak makro ekonomi, daya beli, lapangan pekerjaan, macem-macem. Satu pemerintahan yang fokusnya hanya proyek bisa-bisa pada jebol nanti,” ucapnya.
Lebih jauh, Rizal menyebut pemerintah selalu berdalih faktor eksternal menjadi perlambatan ekonomi.
Namun yang terjadi faktanya bahwa trade war tidak selalu membuat pertumbuhan ekonomi negatif.
“Negara lain malah menarik manfaat kok dari trade war. Contohnya Myanmar, Vietnam, dan Thailand mereka bisa surplus, sementara kita tidak biasa mengantisipasi faktor eksternal,” ujar Rizal Ramli.
Perang Dagang jadi Momok
Bank Indonesia mengatakan, ketidakpastian ekonomi global terutama terkait perang dagang antara AS-China masih memberi dampak negatif kepada perekonomian negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Hal tersebut berdampak pada pertumbuhan ekonomi, kinerja ekspor hingga investasi yang melambat.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo menyebutkan, pada masa kejayaannya investasi RI bisa tumbuh 7-8 persen. Namun di kuartal II 2019 ini hanya tumbuh 3,07 persen.
"Jadi masalah di semua negara berkembang yang terkena dampak trade war, volatilitas di pasar keuangan, serta melambatnya turunnya proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia di ekspor. Ini dialami di banyak emerging markets termasuk Indonesia," ujar Dody di Gedung BI, Jakarta, Senin (12/8/2019).
Selain itu, pertumbuhan investasi yang rendah juga diakibatkan oleh perlambatan ekspor yang berdampak pada pengurangan produksi.
"Dengan ekspor melambat permintaan produksi berkurang dan otomatis investasi berkurang dan akan menurunkan pendapatan devisa ekspor," jelas Dody.
"Kemudian menurunkan pendapatan yang berakhir kepada konsumsi yang tidak akan setinggi dari yang diperkirakan," imbuhnya.
Dia berharap ke depannya investasi tak hanya didorong melalui policy atau kebijakan bank sentral.
Salah satu yang diupayakan BI adalah memperkuat sektor manufaktur unggulan, antara lain tekstil, otomotif, dan alas kaki.
"Artinya semua negara akan tumbuh dan akan lebih baik dari tahun sebelumnya. Cuma tidak optimal seperti yang seharusnya. Itu yang tercermin dari outlook pertumbuhan dunia yang dikoreksi ke 3,2 persen," pungkasnya. (Ria/ Tribunnews.com)
Baca: Imbas Perang Dagang, Rupiah Melemah ke Level Rp 14.223 per Dolar AS
Tren menurun
Lupakan ambisi menggenjot pertumbuhan ekonomi tinggi dan mungkin tinggal menjadi nostalgia.
Pasalnya, menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), pertumbuhan ekonomi Indonesia terjebak pada kisaran 5% selama hampir dua dekade terakhir.
Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam periode 2000-2018 hanya 5,3%.
Berdasarkan diagnostik pertumbuhan ekonomi yang dilakukan oleh Bappnenas, asumsi makro pertumbuhan ekonomi 2020-2024 berkisar 5,4% - 6%.
Pada periode 1980-1996, Bambang menjelaskan, Indonesia pernah mengalami pertumbuhan ekonomi yang terbilang ideal.
Baca: Mobil Arab Pakai Stir Kiri, Jemaah Haji Diminta Hati-hati Saat Menyebrang Jalan, Sudah Ada Korban
Bukan hanya angka pertumbuhan tinggi dengan rata-rata 6,4%, namun faktor pendorong pertumbuhan pun berkualitas.
Bambang mengatakan, Indonesia pada periode itu mulai berhenti mengandalkan komoditas minyak dan beralih mengandalkan penerimaan pajak dan memanfaatkan sumber daya alam lain seperti kayu dan hasil hutan.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi juga mengandalkan industri manufaktur padat karya seperti tekstil dan garmen, elektronik, alas kaki dan sebagainya.
“Periode itu tidak pernah terulang lagi, hanya tinggal nostalgia karena sangat susah untuk kembali ke angka pertumbuhan seperti itu,” tutur Bambang.
Stagnansi pertumbuhan ekonomi, kata Bambang, akibat Indonesia kembali pada kebiasaan lama yaitu terlalu bertumpu pada komoditas alam mentah, seperti batubara dan kelapa sawit.
Oleh karena itu, isu stagnansi pertumbuhan ekonomi ini menjadi salah satu prioritas dalam penyusunan Rancangan Awal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024.
“Kita patut concern karena Indonesia mengalami tren perlambatan pertumbuhan ekonomi. Kita harus mulai mencari tahu penyebabnya,” kata Bambang.
Berita Ini Sudah Tayang di KONTAN, dengan judul: Menteri PPN/Kepala Bappenas: Pertumbuhan ekonomi tinggi tinggal nostalgia
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.