Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Dianggap Bisa Picu Liberalisasi Bisnis Lahan, Sejumlah Masyarakat Tolak RUU Pertanahan

RUU Pertanahan dinilai gagal menjawab lima krisis agraria yang terjadi di Indonesia saat ini.

Editor: Choirul Arifin
zoom-in Dianggap Bisa Picu Liberalisasi Bisnis Lahan, Sejumlah Masyarakat Tolak RUU Pertanahan
Tribun Medan/Array A Argus
Sejumlah anggota TNI AD tampak berjaga di lokasi sengketa lahan Jalan Metal VI, Kelurahan Mabar Hilir, Kecamatan Medan Deli. Akibat sengketa ini, sejumlah masyarakat luka-luka akibat dilempari batu, Jumat (19/1/2018). TRIBUN MEDAN/ARRAY A ARGUS 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana pemerintah untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan pada September 2019 ini menuai penolakan dari sejumlah elemen masyarakat.

RUU Pertanahan dinilai gagal menjawab lima krisis agraria yang terjadi di Indonesia saat ini.

Kelima krisis agraria tersebut, pertama ketimpangan struktur agraria yang tajam, kedua maraknya konflik agraria struktural, ketiga kerusakan ekologis yang meluas, keempat laju cepat alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian, kelima kemiskinan akibat struktur agraria yang menindas.

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika perwakilan sejumlah elemen masyarakat menilai Undang-Undang terkait Pertanahan seharusnya menjadi basis bangsa dan negara untuk mewujudkan keadilan agraria.

Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam pasal 33 undang-undang 1945 TAP MPR 9 tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PA-PSDA) serta undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria (UUPA) 1960.

Baca: Enzo Allie Raih Skor Tinggi Usai Jalani Tes Tambahan, TNI AD Pilih Pertahankan Jadi Catar Akmil

Dewi lebih lanjut menjelaskan terdapat 8 persoalan mendasar dari RUU Pertanahan saat ini.

Pertama adalah RUU Pertanahan bertentangan dengan UUPA 1960, kedua Hak Pengelolaan (HPL) dan penyimpangan Hak Menguasai dari Negara (HMN).

BERITA REKOMENDASI

Ketiga, masalah Hak Guna Usaha (HGU), keempat kontradiksi dengan agenda dan spirit Reforma Agraria, kelima kekosongan penyelesaian konflik agraria.

Baca: Ganti Rugi untuk Keluarga Ahli Waris Korban Boeing 737-8 Max Lion Air Lebih dari Rp 2 Miliar

Keenam, permasalahan sektoralisme pertanahan dan pendaftaran tanah, ketujuh pengikaran pengingkaran terhadap Hak Ulayat Masyarakat Adat dan terakhir bahaya pengadaan tanah dan Bank Tanah.

Perihal poin kedelapan mengenai Bank Tanah lebih disoroti sejumlah elemen masyarakat ini.

"Bahwa bank tanah yang akan dibentuk pemerintah adalah lembaga profit yang sumber pendanaannya tidak hanya berasal dari APBN bahkan dapat berasal dari penyertaan modal kerja sama pihak ketiga pinjaman dan sumber lainnya," ujar Dewi dalam konferensi pers pernyataan menolak RUUP, di Hotel Grand Cemara Jakarta, Selasa (13/8/2019).

Baca: Perseteruan Kivlan Zen Vs Wiranto: Dari PAM Swakarsa 1998 Sampai Ganti Rugi Rp 1 Triliun

Dewi menegaskan, jika dibentuk, kehadiran Bank Tanah berisiko memperparah ketimpangan konflik melancarkan proses-proses perampasan tanah atas nama pengadaan tanah dan meneruskan praktek spekulan tanah.


Mengacu pada 8 masalah pokok tersebut maka perwakilan gerakan masyarakat sipil gerakan Tani masyarakat adat nelayan akademisi dan pakar agraria menyimpulkan bahwa RUU Pertanahan tidak memenuhi syarat secara ideologis sosiologis dan bertentangan dengan pasal 33 undang-undang 1945 dan undang-undang 1950.

Dewi Kartika menekankan bahwa RUUP tersebut secara nyata berwatak kapitalisme neoliberal.

"RUU Pertanahan tidak sesuai dengan prinsip UU Agraria, di mana populis bersifat kerakyatan. Tanah itu bukan barang komoditas yang secara bebas diperjualbelikan," tegas Dewi.

Saat ini RUU Pertahanan sedang digodok oleh DPR RI dan Pemerintah, dan akan disahkan pada September 2019.

Sumber: Kontan
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas