Indef Sebut Penetapan Tarif Cukai Tembakau Tak Efektif Dongkrak Penerimaan Negara
Sejumlah celah yang ada dalam berbagai peraturan tersebut membuat penerimaan negara dan pengendalian konsumsi rokok tidak optimal.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai penetapan tarif cukai hasil tembakau tidak efektif dalam mendongkrak penerimaan negara.
Sejumlah celah yang ada dalam berbagai peraturan tersebut membuat penerimaan negara dan pengendalian konsumsi rokok tidak optimal.
Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad menjelaskan, ada tiga temuan utama dari hasil kajian Indef terkait kebijakan cukai rokok.
Pertama, struktur cukai saat ini masih belum mengakomodir persaingan yang berkeadilan dan cenderung memiliki celah yang mampu dimanfaatkan.
Baca: Wendy Cagur Tagih Utang di Depan Publik dengan Cara Ini, Ayu Ting Ting: Ini Kacau
Baca: BPIP Sebut Mengubah Pola Pikir Mantan Teroris Tidak Bisa Instan
Baca: Bali United vs Borneo FC: Ilija Spasojevic Borong Dua Gol untuk Bali United
PMK 146/2017 yang direvisi menjadi PMK 156/2018 telah membuat golongan tarif cukai rokok berdasarkan jenisnya yaitu sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek tangan (SKT).
Golongan tarif tersebut disusun berdasarkan produksi untuk membedakan perusahaan besar dan kecil. Namun, temuan yang ada saat ini menunjukkan perusahaan besar masih bersaing dengan perusahaan kecil.
“Golongan tarif berdasarkan jumlah produksi cukup berpengaruh terhadap tingkat persaingan berkeadilan (level playing field),” kata Tauhid dalam acara diskusi “Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Kebijakan Tarif Cukai” di Jakarta Selatan, Rabu (28/8).
Kedua, dari hasil penelitian sampai April 2019, Indef menemukan bahwa dari tujuh perusahaan rokok multinasional, terdapat indikasi pelaku industri besar yang memproduksi dalam jumlah banyak membayar tarif cukai rokok pada golongan rendah.
“Jika perusahaan rokok yang membayar tarif cukai pada golongan 2B (rendah) memproduksi 1 miliar batang dengan harga jual eceran (HJE) minimum Rp 715 per batang, maka pendapatan kotornya adalah Rp 715 miliar. Apakah ini termasuk perusahaan kecil?" kata Tauhid.
Baca: Hakim Nawawi: Organisasi KPK Tidak Sehat dan Butuh Obat
Baca: ICJR Kritik Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP, Dianggap Bersifat Kolonial dan Tak Demokratis
Baca: 15 Kabupaten Ini Terima Bantuan Ruang Kelas dari Kemendes PDTT
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, Menengah telah mengatur bahwa perusahaan dengan penjualan di atas Rp 50 miliar per tahun termasuk kategori usaha besar.
Namun dalam Undang-undang Cukai Nomor 39 tahun 2007 serta Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebagai turunannya tidak terdapat kategori soal skala usaha industri rokok. Skala usaha industri rokok hanya mengacu pada jumlah produksi rokok.
Ketiga, keberadaan 'diskon rokok' yang menyalahi konsep cukai sebagai instrumen pengendalian dan berpotensi membuka peluang persaingan yang tidak berkeadilan. Tauhid mengatakan diskon rokok terjadi salah satunya akibat level playing field yang tidak setara.
Ketentuan diskon rokok diatur melalui Peraturan Dirjen Bea Cukai Nomor 37/2017. Dalam aturan tersebut, harga transaksi pasar (HTP) yang merupakan harga jual akhir rokok ke konsumen boleh 85% dari harga jual eceran (HJE) yang tercantum dalam pita cukai.
Produsen dapat menjual di bawah 85% dari HJE, asalkan dilakukan tidak lebih dari 40 kota yang disurvei kantor Bea Cukai.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.