Buruh dan Pengusaha Kompak Tolak Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengusulkan untuk menaikkan besaran iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Editor: Sanusi
"Dalam bentuk gerakan KSPI sedang mengajak serikat buruh tanggal 2 Oktober, satu hari setelah pelantikan DPR kami akan aksi besar besaran 150.000 orang di 10 kota industri di 10 provinsi," sambung dia.
Said memastikan protes buruh tidak hanya akan berhenti hanya dengan demonstrasi.
Sebab kenaikan iuran BPJS Kesehatan jelas akan memberatkan masyarakat, tidak hanya buruh.
KSPI meminta pemerintah memikirkan daya beli dan pendapatan masyarakat. Sebab dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, maka uang masyarakat akan dipotong lebih banyak.
"Misal untuk kelas III naiknya jadi Rp 42.000 kan. Kalau peserta mandiri satu istri, satu suami dan 3 anak, berarti Rp 42.000 kali 5 orang sudah Rp 210.000," kata dia.
"Bagi orang Jakarta yang upah minimum non buruh Rp 3,9 juta mungkin enggak terasa naik jadi Rp 210.000 keluar. Tapi gimana pekerja di daerah lain dengan UMP yang lebih kecil?" sambungnya.
Said yakin aksi buruh akan mendapatkan dukungan dari kelompak masyarakat lainnya sebab dampak iuran BPJS Kesehatan akan dirasakan oleh pekerja lainnya.
Ditolak Pengusaha
Pengusahatekstil menyatakan keberatan terhadap kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Adapun perubahan terhadap iuran Peserta Penerima Upah (PPU) Badan Usaha diusulkan oleh Kementerian Keuangan menjadi 5 persen terhadap upah bulanan dengan nilai maksimum upah Rp 12 juta, dari yang sebelumnya Rp 8 juta.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat Usman mengatakan, besaran persentase tersebut tidak bisa menjadi tolak ukur keadilan pungutan iuran BPJS Kesehatan. Sebab, setiap daerah memiliki tingkat upah minimum yang beragam.
"BPJS Kesehatan seharusnya bukan hanya main pungut dengan persentase tertentu, tapi juga harus berasaskan keadilan, karena kalau berdasarkan persentase, dasarnya UMKM ( Upah Minimum Kota/Kabupaten) di Jawa Tengah akan lebih kecil iurannya jika dibandingkan dengan kawasan Karawang, Garut dan lainnya," ujar dia ketika dihubungi Kompas.com, Selasa (3/9/2019).
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menilai kenaikan batas maksimum pendapatan tersebut tidak efektif dalam menekan defisit BPJS Kesehatan.
Sebab, industri tekstil, meski data-data perindustrian menunjukkan pertumbuhan, pada praktiknya banyak juga perusahaan-perusahaan yang gulung tikar di lapangan.
"Karena ekspor naik, nilai ekspor garmennya naik. Ada investasi, salah satunya Asia Pacific Rayon, tapi itu juga investasi dari 3 tahun yang lalu. Sementara di sektor tenun, rajut, dan garmen juga banyak yang stop, kemarin di Sukabumi ada laporan di stop, 40.000 peerja, kemudian di Bogor ada lagi, Subang ada lagi. Kalau (batas atas) dinaikin siapa yang mau bayar?" ujar dia.