Penggabungan SKM dan SPM Diyakini Tidak Akan Pengaruhi Pabrikan Rokok Kecil
Kebijakan penggabungan SKM dan SPM justru diyakini akan menciptakan persaingan usaha yang adil di industri hasil tembakau.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Anggota Komisi XI DPR, Amir Uskara menepis dugaan bahwa penggabungan batasan produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) dengan Sigaret Putih Mesin (SPM) menjadi 3 miliar batang akan mempengaruhi perusahaan kecil.
Sebaliknya, kebijakan penggabungan SKM dan SPM justru akan menciptakan persaingan usaha yang adil di industri hasil tembakau.
Amir Uskara mengatakan, kebijakan ini akan membuat pabrikan besar asing akan membayar tarif cukai rokok tertinggi sehingga produk mereka tak bersaing langsung dengan pabrikan lokal kecil yang membayar tarif cukai rokok yang lebih rendah.
“Perusahaan yang benar-benar kecil tidak akan terkena dampak sama sekali karena penggabungan produksi mereka tidak mungkin sampai pada batas skema yang ada,” kata Amir Uskara, Senin (16/9/2019).
Amir menjelaskan jika Pemerintah tidak segera merealisasikan penggabungan SKM dan SPM menjadi tiga miliar batang, maka persoalan yang terjadi akan semakin kompleks.
Baca: Dua Surat Xananao Gusmao untuk Keluarga Almarhum BJ Habibie
Pertama, pabrikan rokok besar asing akan terus menikmati tarif cukai murah.
Kedua, iklim bisnis menjadi tidak kondusif karena pabrikan besar menghadapi pabrikan kecil; dan ketiga, pabrikan rokok besar asing terus melakukan tax avoidance.
Baca: Korban Kecelakaan di Tol Jagorawi Sering Bertemu di Rumah Ini untuk Bisnis Tanaman Herbal
“Kami akan sangat mengapresiasi Kementerian Keuangan terutama Bea Cukai dan BKF jika skema yang pernah disampaikan ke Komisi XI dapat direalisasikan secara utuh," ujar Amir.
Baca: Miliki 3 Kompetensi, Bos ESQ: Prof Syarifuddin Tippe Layak Jadi Menhan Kabinet Jokowi
Dengan demikian perusahaan besar asing tidak bisa lagi berpura-pura sebagai perusahaan kecil dan membayar cukai rendah.
Sebelumnya, INDEF menyatakan ada ketidaksesuaian tarif cukai rokok dimana terdapat perusahaan yang tidak ingin mencapai batas produksi SKM dan SPM tiga miliar batang.
Jumlah tersebuit merupakan batas minimal produksi agar sebuah perusahaan rokok membayar tarif cukai tertinggi (golongan 1).
Akibatnya, ada potensi kehilangan pendapatan negara mencapai Rp 926 miliar.
“Betapa penting mengatur level playing field (tingkat persaingan berkeadilan) yang sehat tanpa mengurangi pendapatan negara,” tegas Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad.
Temuan data INDEF jugamenunjukkan terdapat pabrikan besar asing yang memproduksi SPM sebanyak 2,9 miliar batang atau hanya 100 ribu di bawah batas 3 miliar batang agar mereka terhindar dari cukai tertinggi dan cukup membayar tarif golongan 2 yang nilainya jauh lebih murah.
“Dia menahan produksi, lalu gantinya dia menciptakan merek baru. Padahal kalau ditotal jumlahnya lebih dari tiga miliar batang,” ujar Tauhid.