HM Sampoerna Pasrah Tarif Cukai Naik Tapi Ajukan 2 Rekomendasi Ini ke Pemerintah
Banyak rokok kretek mesin yang harganya nyaris sama dengan rokok SKT sehingga membuat segmen ini semakin terpuruk.
Editor: Choirul Arifin
Sebab, 75% pekerja di kategori SKT berasal dari pabrikan pembayar cukai golongan 1. "Jika ada perubahan dalam struktur cukai SKT, sudah pasti akan memengaruhi volume produksi dan jumlah pekerja di dalamnya,” ujarnya.
SKT, lanjut Troy, mengalami penurunan yang terus-menerus dalam beberapa tahun terakhir. Hal itu membuat Sampoerna harus terus mengatur strategi dengan jeli, agar dapat mempertahankan segmen SKT-nya.
"Saat ini, kami mempekerjakan 67.000 orang secara langsung dan tak langsung, di mana sebagian besarnya adalah pelinting SKT,"ungkap Troy
Sampoerna, misalnya, melakukan subsidi dari profit yang didapat dari produk SPM untuk diberikan kepada SKT. Dengan cara itu, produsen SKT terbesar di Indonesia tersebut dapat menjaga keberlanjutan industri yang memproduksi Dji Sam Soe, dan Sampoerna Hijau.
Troy juga mengatakan, jika pemerintah benar-benar memperhatikan serapan tenaga kerja di SKT, maka volume produksi SKT golongan 2 sebaiknya diturunkan dari 2 miliar batang per tahun menjadi 1 miliar batang per tahun.
Dengan demikian, para produsen SKT golongan 1 dapat mempertahankan serapan tenaga kerjanya. Langkah ini juga dapat menciptakan persaingan yang adil bagi pabrikan SKT golongan 2 dan 3, serta meningkatkan penerimaan negara.
Ketua Harian Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia (Formasi) Heri Susanto juga meminta pemerintah mempercepat penggabungan batasan produksi SKM dan SPM.
Heri Susanto mengatakan, struktur tarif cukai hasil tembakau, khususnya untuk SKM dan SPM, masih memiliki celah yang dimanfaatkan beberapa pabrikan besar asing untuk melakukan penghindaran pajak.
Siasat yang digunakan adalah membatasi volume produksi mereka agar tetap di bawah golongan I, yakni tiga miliar batang, sehingga terhindar dari kewajiban membayar tarif cukai tertinggi.
Padahal tarif cukai golongan 2 SPM dan SKM lebih murah sekitar 50-60% dibandingkan golongan I.
Dia mengatakan, penggabungan batasan produksi rokok mesin ini akan mendorong penerimaan negara yang lebih besar.
“Harapan kami, ekonomi terus tumbuh, khususnya penerimaan negara di bidang industri hasil tembakau meningkat, tanpa mengorbankan pabrikan kecil dan penyerapan tenaga kerja tetap berlangsung,” ujarnya.