Pengusaha Setuju Usul Pemerintah, Gaji Karyawan Tidak Dibayar Bulanan Lagi Tapi Upah per Jam
Pengusaha menyambut rencana pembayaran upah per jam. Hal itu dipercaya nantinya akan meningkatkan produktivitas pekerja.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengusaha menyambut rencana pembayaran upah per jam. Hal itu dipercaya nantinya akan meningkatkan produktivitas pekerja.
Ketua umum DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia DKI Jakarta (HIPPI) Sarman Simanjorang menilai rencana itu menarik bagi pelaku usaha.
"Format pengupahan per jam sangat dibutuhkan tenaga kerja yang memiliki produktifitas dan kompetensi yang tinggi," ujar Sarman yang juga menjadi dewan pengupahan DKI Jakarta saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (26/12/2019).
Skema pengupahan tersebut akan menuntut produktifitas pekerja. Meski begitu kebijakan tersebut perlu didiskusikan secara komprehensif.
Baca: Bukan Gaji Bulanan, Pemerintah Ingin Karyawan Diupah Per Jam, Dinilai Lebih Menguntungkan?
Baca: Pemerintah Ingin Gaji Bulanan Karyawan Diganti dengan Upah Per Jam, Ini Keterangan Menaker
Sistem tersebut juga harus dibarengi dengan kebijakan dan aturan yang ketat. Sehingga nantinya tidak menjadi polemik yang berkepanjangan dalam pengupahan.
Meski begitu Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azam bilang bukan sistem pengupahan yang menjadi masalah.
Namun perlu relaksasi dalam regulasi untuk menciptakan lapangan kerja.
"Kita harus buka seluas-luasnya kesempatan kerja buat pencari kerja baik yang bulanan, mingguan, harian, maupun jam-jaman," terang Bob Azam.
Fleksibilitas pasar kerja diungkapkan Bob menjadi perhatian utama. Pasalnya terdapat 2,5 juta angkatan kerja yang masuk pasar kerja tiap tahunnya.
Wacana pemerintah
Diberitakan sebelumnya, pemerintah saat ini tengah mengkaji sejumlah aturan terkait ketenagakerjaan seperti fleksibilitas jam kerja hingga proses rekrutmen maupun PHK.
Hal itu akan diatur dalam RUU Omnibus Law.
Soal upah, selalu jadi perdebatan setiap tahunnya di Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan penetapan upah minimum di sejumlah daerah.
Terbaru soal upah minimum, diatur dalam Peraturan Pemerintah No 78/2015 tentang Pengupahan.
Dimana formula kenaikan upah didasarkan pada inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi.
Untuk mengatasi perdebatan yang terjadi setiap tahun itu, pemerintah tengah menggodok alternatif sistem pengupahan berdasarkan prinsip fleksibilitas yang akan dimasukan dalam beleid omnibus law.
Baca: Anak Buah Presiden Jokowi Ini Koleksi Mobil dari Jaguar sampai Land Cruiser
Pembahasan omnibus law atau revisi undang-undang terkait perpajakan dan ketenagakerjaan masih berlangsung.
Target penyerahan omnibus law ke DPR yang tadinya bakal dilakukan pada akhir tahun ini pun molor jadi paling lambat awal tahun depan.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, salah satu hal yang membuat alotnya pembahasan omnibus law yakni karena sulitnya mempertemukan kepentingan pengusaha dan buruh atau tenaga kerja.
"Memang tidak gampang, butuh waktu, pasti mempertemukan antara kepentingan pengusaha dan tenaga kerja itu bukan hal yang gampang," ujar Ida seperti dikutip Kompas.com, Rabu (25/12/2018).
Salah satu yang tengah dikaji yakni sistem upah berdasarkan jam. Saat ini dengan skema gaji tetap, pekerja yang masuk dengan jumlah hari yang berbeda tetap mendapatkan gaji yang sama.
Sementara dengan upah per jam, upah yang diterima diterima pekerja sesuai dengan jam kerja.
Skema pengupahan per jam sebenarnya sudah lumrah dilakukan di negara-negara maju.
Ida menjelaskan, saat ini kementeriannya masih dalam proses inventarisasi dan mendengarkan masukan dari buruh dan dunia usaha misalnya terkait upah minimum dan pesangon.
Selain itu juga dalam hal prinsip easy hiring dan easy firing yang sebelumnya sempat disebut oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
"Kami masih dalam proses menginventarisir dan mendengar," ujar Ida.
Adapun target penyelesaian draf omnibus law ketenagakerjaan dipastikan pada Januari 2020.
Sebelumnya, Menko Airlangga menjelaskan, di dalam omnibus law ketenagakerjaan pemerintah bakal merevisi beberapa aturan mengenai gaji dan pesangon, prinsip easy hiring dan easy firing, hingga kemudahan untuk merekrut tenaga kerja asing.
Baca: Ada 17 UU Atur Jalannya Investasi di Laut, Mahfud MD Bertemu Luhut Bahas Omnibus Law Keamanan Laut
Selain itu, di dalam omnibus law juga bakal memperlonggar aturan mengenai fleksibilitas jam kerja.
"Ini masih dibahas Kemenaker, belum final. Termasuk dengan upah, tapi pembahasan belum final," ujar dia.
Airlangga sendiri menjelaskan, Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja baru akan diajukan kepada DPR pada Januari 2020 mendatang.
Kemudahan tenaga asing
Airlangga menuturkan, RUU itu masih dibahas bersama Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah dan beberapa isu lainnya soal gaji, isi hiring, isi firing, dan beberapa isu di UU Ketenagakerjaan.
Nantinya bila disahkan, tenaga kerja asing atau ekspatriat bisa masuk dan bekerja tanpa birokrasi yang berbelit-belit dan panjang.
"Tentunya beberapa hal yang sudah dibahas isi hiring dan isi firing terkait dengan tenaga kerja asing terutama mengenai perizinin agar tenaga kerja ekspatriat itu bisa masuk tanpa birokrasi yang panjang," kata Airlangga.
Selain itu, pihaknya masih membahas sejumlah aturan meliputi definisi jam kerja, pembedaan fasilitas antara UMKM yang basisnya adalah kesepakatan kerja dengan hak-hak yang dijamin.
"Kemudian terakhir yang dibahas adalah jenis-jenis pengupahannya dimungkinkan berbasis perhitungan jam kerja atau perhitungan harian. Itu yang kami bahas," ucap dia.
Sebagai informasi, Omnibus Law bertujuan untuk meningkatkan daya saing dan mendorong investasi. Selama ini, hambatan utama dalam peningkatan investasi dan daya saing adalah terlalu banyaknya regulasi, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Melalui RUU tersebut, pemerintah akan merevisi 82 UU yang terdiri dari 1.194 pasal.
RUU omnibus law akan terbagi dalam 11 klaster, yakni penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan berusaha, serta kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMKM.
Selanjutnya klaster dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek pemerintah, serta kawasan ekonomi.
SUMBER: KOMPAS.com (Fika Nurul Ulya, Mutia Fauzia) | Editor: Yoga Sukmana.