Deni Daruri: daripada Tebar Kepanikan Lebih Baik Benahi Jiwasraya
Deni menyarankan agar masalah gagal bayar Jiwasraya tidak perlu digoreng-goreng. Karena hanya akan menimbulkan kepanikan.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM - Di tengah polemik jiwasraya, Presiden Direktur Centre for Banking Crisis (CBC)
Achmad Deni Daruri menyarankan agar masalah gagal bayar Jiwasraya tidak perlu digoreng-goreng. Karena hanya akan menimbulkan kepanikan.
"Kepanikan semua pihak diakhir 2019 terlihat dalam pernyataan mereka yang pernah bersentuhan dengan Jiwasraya. Sehinga menjadi bola liar pernyataan yang makin tidak jelas dan tidak bertanggung jawab muncul di berbagai media," papar Deni di Jakarta, Minggu (29/12/2019).
Dia menyarankan agar seluruh pihak tidak saling menyalahkan. Tidak perlu menuding OJK lamban dalam menjalankan pengawasan, atau menuduh investasi Jiwasraya di PT Mahaka Media Tbk (ABBA) adalah salah satu pemicu gagal bayar.
"Justru sebaliknya, investasi Jiwasraya di ABBA menghasilkan cuan Rp2,8 miliar. karena menjual saham pada saat yang tepat," ungkapnya.
Sampai 2017, lanjut Deni, Jiwasraya tetap solven dan tidak melanggar ketentuan tentang investasi. Misalnya ketentuan saham maksimal 10% dari total investasi per emiten, serta reksadana maksimal 20% dari total investasi untuk setiap Manager Investasi
Agar tidak panik, Deni mengurai sejumlah catatan Jiwasraya. Pada 2006-2008, OJK sudah mengetahui defisit di Jiwasraya per 31 Desember 2006 sebesar Rp3.29 triliun. Pada ada akhir 2008, defisit naik menjadi Rp5,7 triliun. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan Jiwasraya pada 2006 dan 2007 pendapat disclaimer.
Periode 2009-2010, defisit Jiwasraya per 31 Desember 2009 mencapai Rp6,3 triliun. Kala itu, pemegang saham mengusulkan mengatasi insolvent melalui penyelamatan dengan APBN.
Namun tidak jadi. Setahun berikutnya, manajemen Jiwasraya mengusulkan penyehatan jangka pendek dengan mereasuransikan sebagian kewajiban pemegang polis ke perusahaan reasuransi. Dan mendapat persetujuan oleh otoritas dan pemegang saham.
"Jiwasaraya menjadi solvent. Jumlah kekayaan Jiwasraya menjadi Rp5,5 triliun dan kewajiban Jiwasraya Rp4,7 triliun (dari seharusnya Rp 10,7 triliun). Sehingga ekuitas Jiwasraya surplus Rp800 miliar," kata Deni.
Periode 2011-2012, keuangan Jiwasraya sempat surplus per 31 Desember 2011 sebesar Rp1,3 triliun. Pada 2011-2012, regulator meminta Jiwasraya dan pemegang saham menyampaikan alternatif penyelesaian komprehensif dan fundamental.
Selanjutnya pada akhir 2012, pemegang saham menyampaikan alternatif penyelesaian dengan pemanfaatan sinergi BUMN, namun upaya ini tidak terealisasi.
"Ketika Jiwasraya masuk ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), 31 Desember 2012, ada surplus Rp1,6 triliun, dengan catatan masih skema finansial reasuransi. Tanpa skema finansial reasuransi, hitungan otoritas, Jiwasraya masih defisit Rp5,2 triliun," ungkap Deni.
Periode 2013-2017, skema finansial reasuransi Jiwasraya berakhir di awal 2013, manajemen mengajukan rencana penyehatan. Bank BUMN menyetorkan obligasi rekapitalisasi sebagai pengganti finansial reasuransi ke Jiwasraya.
Opsi ini tidak dapat berjalan. Akhir 2013, Jiwasraya menyampaikan alternatif berupa penilaian kembali aset tanah dan bangunan dengan nilai buku Rp208 miliar, direvaluasi menjadi Rp6,3 triliun. "Sehingga menjadi solvent," ungkap Deni.