Praktisi Migas Sebut Isu Mafia Migas Hanya Dipolitisasi, Ini Alasannya
“Pertamina sudah transparan dalam mengelola proyek-proyeknya. Isu mafia migas hanya dipolitisasi dan menjadi komoditas politik."
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Senior Analyst Bowergroup Asia, praktisi yang membawahi sektor migas, LNG, petrokimia dan tambang, Ahmad Syarif, menilai, isu mafia migas di Pertamina hanya dipolitisasi.
Pasalnya, selama ini BUMN tersebut sudah menjalankan proses pengadaan dengan sangat terbuka.
“Pertamina sudah transparan dalam mengelola proyek-proyeknya. Isu mafia migas hanya dipolitisasi dan menjadi komoditas politik. Padahal, isu tersebut justru yang menjadi penghambat kinerja Pertamina,” kata Syarif dalam keterangan tertulisnya di Jakarta hari ini.
Menurut Syarif, dengan transparansi yang sudah dilakukan, Pertamina juga lebih mungkin diawasi publik. Selain itu, isu-isu di dalam BUMN itu, seperti pengadaan barang dan jasa juga menjadi lebih mudah dimonitor.
Baca: Pembangunan Kilang Pertamina Terhambat, DPR: Bukan Ulah Mafia Migas
Baca: Jalan Tengah Nasib Gurandil dan Taman Nasional Halimun Salak
Baca: Pemerintah Beberkan Rencana Jangka Panjang Tingkatkan Produksi Migas Nasional
Itu sebabnya, Syarif berharap bahwa isu mafia migas sebaiknya dihentikan. Pasalnya, isu tersebut hanya akan merugikan Pertamina. Kinerja juga terhambat, termasuk dalam proyek kilang, yang sebenarnya menjadi salah satu prioritas pemerintah. Makanya, jika isu mafia migas diteruskan, lanjut Syarif, yang rugi adalah Pertamina dan juga pemerintah.
“Saya khawatir jika isu mafia migas ini terus dihembuskan, akan menimbulkan efek psikologis. Pertamina menjadi takut. Jadi, mereka akan mengeksekusi proyek apapun tanpa memperhatikan risiko bisnis dengan baik,” kata Syarif.
Selain menghentikan isu mafia migas, Syarif juga menambahkan, beberapa faktor untuk mempercepat pembangunan kilang Pertamina. Pertama, Pertamina harus terus membuat rencana pembangunan kilang yang diintegrasikan dengan pembangunan industri petrokimia. “Ini yang dilakukan Petronas dan Aramco di proyek kilang Johor,” ujarnya.
Kedua, Pertamina harus melanjutkan mencari partner guna membantu menambah kapasitas kilang dengan teknologi terbaru dan memungkinkan terjadinya efisiensi.
“Dan ketiga, Pertamina harus independen. Jangan mudah diinterverensi oleh kepentingan politik. Karena kurangnya indepedensi itulah yang membuat sejumlah investor khawatir,” papar Syarif.
Syarif melanjutkan, sejumlah investor sebenarnya tertarik berinvetasi membangun proyek kilang Pertamina. Namun sebaiknya, pembangunan kilang memang harus diintegrasikan dengan industri petrokimia dan infrastruktur logistik. “Jika keduanya bisa disatukan, ini akan membawa dampak ekonomi bagi Pertamina,” kata Syarif.
Pertamina sendiri, sebenarnya memang sudah mengintegrasikan beberapa kilangnya dengan petrokimia. Selain itu, Pertamina juga sangat terbuka untuk partnership. Hal ini dibuktikan, dengan ketertarikan investor besar untuk bekerja sama, seperti Saudi Aramco, Adnoc, dan Rosneft. (*)