CIPS: Harga Masker Melambung Tinggi, Konsumen Dieksploitasi
Akibat tingginya permintaan, harga masker melonjak tajam hingga beberapa kali lipat.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengumuman Presiden Joko Widodo yang mengonfirmasi adanya dua Warga Negara Indonesia (WNI) yang positif Virus Corona menimbulkan kepanikan di beberapa daerah di Tanah Air.
Kepanikan tersebut muncul dalam bentuk beberapa hal, misalnya saja tindakan panic buying atau berbelanja dalam jumlah besar, baik itu belanja kebutuhan makanan, obat-obatan dan vitamin, hand sanitizer serta masker.
Akibat tingginya permintaan, harga masker melonjak tajam hingga beberapa kali lipat.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ira Aprilianti mengatakan, melonjaknya harga masker tidak sejalan dengan perlindungan konsumen.
Fenomena ini disebutnya sebagai tindakan mengeksploitasi kebutuhan konsumen dengan mengambil untung berlebihan.
Fenomena ini juga berpotensi melanggar UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Ia meneruskan, bahwa fenomena ini mengabaikan hak-hak konsumen.
Baca: Vietnam Berhasil Sembuhkan 156 Pasien Positif Corona, Ini Rahasianya
“Perilaku menimbun barang untuk mengambil keuntungan di luar kewajaran tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga melanggar etika bisnis. Dalam sisi hukum, pedagang melanggar Pasal 107 di UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan dapat dipidanakan paling lama lima tahun dan/atau denda lima puluh miliar rupiah,” kata Ira, Selasa (3/3/2020).
Baca: Anda Juga Bikin Hand Sanitizer Sendiri di Rumah, Begini Caranya
Pasalnya, setelah pengumuman WNI positif Virus Corona, harga sekotak masker bisa mencapai Rp1,7 juta di toko online yang diakibatkan lonjakan permintaan. Ira berpendapat, ini merupakan saat yang tepat untuk konsumen agar mengerti hak-hak mereka.
"Bagi konsumen yang merasa dirugikan, mereka bisa melakukan laporan pengaduan pada Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)," kata dia.
Ira menyatakan, BPKN dapat menjadikan pengaduan masyarakat sebagai dasar rekomendasi pada pemerintah atau kementerian terkait sehingga hal-hal seperti ini tidak terulang lagi.
Selain itu, Ira menjelaskan bahwa tindakan pelaku usaha untuk menaikkan harga tidak akan memberikan reputasi positif pada usahanya dan dapat menghambat usaha mereka di masa yang akan datang karena kekecewaan konsumen.
“Pelaku usaha harus mengerti bahwa menaikkan harga ketika krisis terjadi bukan merupakan strategi yang berkelanjutan untuk mendorong kepercayaan konsumen. Bagi konsumen, seharusnya tidak perlu panik dan membeli secukupnya karena produsen dalam negeri sedang meningkatkan produksi untuk memenuhi lonjakan permintaan. Sudah saatnya konsumen mengetahuai dan mempelajari hak-haknya,” jelas dia.
Selain melalui BPKN, Ira mengatakan, konsumen juga dapat melaporkan hal ini kepada lembaga-lembaga terkait seperti asosiasi pedagang dan produsen maupun Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).
Ia menyebutkan, konsumen bisa mempelajari hak-hak mereka, baik melalui UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen maupun UU Nomor 7 Tahun Tahun 2014. Selain itu juga terdapat peraturan pemerintah dan turunannya seperti PP Nomor 59 Tahun 2001 tentang LPKSM dan PP Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elekronik bagi konsumen online.
"Sudah saatnya konsumen berdaya dan terlindungi," tutur Ira.
Laporan Reporter: Vendi Yhulia Susanto
Artikel ini tayang di Kontan dengan judul Melonjaknya harga masker dinilai bukti minimnya perlindungan konsumen
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.