Subsidi Energi Berkali-kali Gagal, Pemerintah Disarankan Lakukan Efisiensi Pakai Big Data
Konsep subsidi energi yang selama ini dijalankan Pemerintah tidak pernah jelas dari tahun ke tahun.
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah diharapkan tidak lengah terhadap kondisi perekonomian pascawabah corona atau Covid-19 ini karena akan ada tantangan sangat berat menunggu mulai 2021 dan seterusnya.
Mantan Wakil Komisi VI DPR Inas N Zubir mengatakan, satu diantara persoalan APBN yang perlu dibenahi dan dibutuhkan ketegasan dari pemerintah adalah masalah subsidi energi.
Inas menyarankan, untuk keperluan subsidi tersebut seharusnya pemerintah tidak perlu lagi menerbitkan berbagai macam kartu karena cukup menggunakan big data KTP yang juga digunakan oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) maupun PLN.
"Atau pemerintah benar-benar memanfaatkan sensus penduduk 2020 untuk membuat big data kependudukan yang tepat dan sangat lengkap termasuk kondisi ekonomi rakyat Indonesia," ujarnya melalui keterangan resmi di Jakarta, Senin (20/4/2020).
Baca: Ramadan Ini Masjid Istiqlal Tiadakan Tarawih dan Buka Puasa Bersama, Juga Takbir dan Salat Ied
Dia memaparkan, konsep subsidi energi selama ini tidak pernah jelas dari tahun ke tahun.
Terbukti, pemerintah berkali-kali gagal dalam menerapkan subsudi tertutup atau subsidi orang atau rumah tangga untuk LPG.
Baca: Ekonom Muda Ini Ajak Debat Terbuka CEO Ruangguru dan Stafsus Milenial Presiden Jokowi
"Bahkan opsi menerbitkan kartu combo pun akhirnya tidak jelas juntrungan-nya. Padahal TNP2K mengatakan, dengan menggunakan skema distribusi subsidi tertutup LPG 3 kilogram akan ada penghematan keuangan negara karena subsidi LPG yang tepat sasaran," kata Inas.
Baca: Penjelasan Dewan Pakar IDI: Virus Corona Berpotensi Mati dengan Sendirinya
Sementara jika bicara basis data kemiskinan, menurut TNP2K populasi yang rentan miskin ada 25,7 juta rumah tangga dan apabila diasumsikan mendapat subsidi APBN misalnya senilai Rp 50.000 per bulan per rumah tangga, maka diperkirakan subsidi LPG 3 kilogram perlu Rp 15,42 triliun.
Ia mencontohkan, seandainya juga menggunakan data APBN pada tahun 2019, dimana subsidi terhadap barang yakni LPG 3 kg maka angkanya adalah subsidi sebesar 6,97 juta metrik ton LPG atau senilai Rp 75.22 triliun.
Baca: Kisah Ika Dewi Maharani, Relawan Perempuan Satu-satunya yang Jadi Sopir Ambulans di RS Covid-19
Angka tersebut dinilai Inas terpaut jauh dengan subsidi kepada orang atau rumah tangga dari perhitungan diatas, artinya akan diperoleh efisiensi sebesar Rp 58,8 triliun dari subsidi LPG.
Kemudian, dengan basis data yang dimiliki PLN bahwa terdapat 24 juta pelanggan 450 VA dan 7 juta pelanggan 900 VA disubsidi, kemudian diasumsikan mendapat subsidi Rp 40.000 maka yang perlu dicairkan sebesar Rp 14,88 triliun.
"Sedangkan subsidi listrik dalam APBN 2019 sebesar Rp 57,11 triliun, sehingga bisa diperoleh efisiensi sebesar Rp 42,23 triliun dari subsidi listrik," tuturnya.
Sedangkan, Inas menambahkan, untuk menghitung subsidi BBM maka pemerintah harus menegaskan tentang basis data yang akan digunakan dalam menghitung besaran subsidinya, menggunakan basis data TNP2K atau yang lain.
"Efisiensi-efisiensi subsidi tersebut, tentunya akan sangat membantu optimaasi perencanaan RAPBN tahun 2021 dan seterusnya. Karena itu, pemerintah harus memerintahkan para menteri, pejabat, para pakar tidak terlalu sibuk dalam penanggulangan Covid-19 dan mengkaji tentang basis data yang tepat digunakan dalam menghitung subsidi BBM," pungkasnya.