Kenaikan Iuran Bukan Satu-satunya Cara Mengatasi Defisit BPJS
Anggota DPR fraksi PAN Guspardi Gaus menilai keputusan menaikkan iuran bukan satu-satunya cara untuk mengatasi defisit yang dialami BPJS.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota DPR fraksi PAN Guspardi Gaus mengkritik keputusan pemerintah yang menaikkan iuran BPJS Kesehatan.
Ia menilai keputusan tersebut bukan satu-satunya cara untuk mengatasi defisit yang dialami BPJS.
"Langkah presiden menaikkan iuran BPJS tetap tidak dapat dibenarkan karena kenaikan iuran bukan satu-satunya cara mengatasi defisit di BPJS. Dan bertolak belakang dengan semangat melindungi segenap warga negara menghadapi pandemi Covid-19," kata Guspardi kepada Tribunnews, Senin (18/5/2020).
Diketahui, kenaikan iuran BPJS Kesehatan tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Menurut Guspardi, aturan tersebut ibarat mimpi di siang bolong dan benar-benar menjadi pukulan telak bagi masyarakat.
Sebab, saat ini masyarakat sedang kesulitan ekonomi akibat adanya pandemi Covid-19 yang mengharuskan masyarakat mengikuti imbauan pemerintah untuk di rumah saja.
"Pemerintah melakukan blunder dengan menaikkan iuran BPJS. Bisa sempoyongan lah rakyat jadinya," ucapnya.
Baca: Anggota DPR Kritik Pemerintah atas Polemik Harga dan Stok Gula
Anggota DPR RI dari dapil Sumbar ini menegaskan pemerintah tidak boleh memaksakan kehendak untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan.
Pasalnya, Mahkamah Agung (MA) telah menolak kenaikan iuran BPJS ini sekaligus membatalkan Perpres Nomor 75 Tahun 2019 yang mengatur tetang kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Ia menilai dikeluarkannya Perpres Nomor 64 Tahun 2020 itu, pemerintah terkesan tidak mengindahkan putusan MA.
"Untuk itu diminta kepada presiden untuk dapat membatalkan atau mencabut Perpres Nomor 64/2020 yang menjadi dasar hukum kenaikan iuran BPJS Kesehatan tersebut titik," ujar Guspardi.
Sebelumnya, Plt Deputi II Kantor Staf Presiden Abetnego Tarigan mengatakan terdapat sejumlah pertimbangan diterbitkannya Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, yang isinya menaikan tarif iuran BPJS untuk kelas I dan II.
Pertama yakni agar tidak terjadi kekosongan hukum setelah dibatalkannya Perpres Nomor 75/2019 oleh Mahkamah Agung.
Baca: Ibu dan Anaknya Tewas Terbakar di Jepang, Diduga Bunuh Diri Stres Akibat Pendemi Corona
"Pertama itu kan karena sudah dicabut pasal itu dibatalkan oleh MA ya. Kan nggak mungkin ada kekosongan hukum ya itu," katanya kepada wartawan, Kamis (14/5/2020).
Menurut Abetnego, MA tidak memutuskan bahwa iuran BPJS dikembalikan ke awal saat membatalkan Perpres 75/2019. MA bukan lembaga penentu tarif.
"Bukan pasalnya yang dibatalkan. Kan harus diingat MA bukan lembaga penuntut tarif, itu filosofis tuh, kemudian MA pasti nggak akan berupaya untuk melampaui kewenangannya dalam hal teknis, jadi yang dibatalkan terkait dengan dilakukan penyesuaian," katanya.
![Ilustrasi BPJS. Pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan di tengan pandemi Covid-19. Selain itu, pemerintah juga menawarkan solusi turun kelas jika merasa tak mampu bayar.](https://cdn-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/bpjs-kesehatan-99898211.jpg)
Pertimbangan ke dua menurut dia, yakni menyangkut keberlanjutan BPJS itu sendiri. Selama ini BPJS selalu mengalami defisit.
"Yang Kedua pasti berkaitan dengan keberlanjutan BPJS itu sendiri. Nah, makanya di dalam konsideran itu tetap mempertimbangkan keputusan MA, kalau dibaca di Perpresnya," katanya. (*)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.