Pemerintah Harus Berani Negoisasi Ulang untuk Cegah Eksploitasi Pekerja Migran ke Jepang
Peneliti HRWG Indonesia Yoga Prasetyo mengatakan hal pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah mengubah paradigma lama.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Untuk mencegah praktik eksploitasi dalam proses pra-keberangkatan pekerja migran Indonesia ke Jepang, Human Rights Working Group (HRWG) Indonesia mendesak pemerintah melakukan sejumlah langkah.
Peneliti HRWG Indonesia Yoga Prasetyo mengatakan hal pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah mengubah paradigma lama.
"Pemerintah Indonesia harus mengubah paradigma lama dimana mengirim buruh murah sebanyak-banyaknya dan tutup mata atas praktek eksploitasi. Itu harus diubah menjadi paradigma yang mengedepankan perlindungan sebagai dasar kerjasamanya seperti semangat UU PPMI," ujar Yoga, dalam diskusi online 'Menyoal Proses Pra-keberangkatan Pekerja Migran Indonesia ke Jepang melalui Skema TITP dan EPA', Rabu (20/5/2020).
Yoga juga menilai perlu adanya renegosiasi bilateral sembari memperbaiki payung hukum perlindungan dan efektivitas pengawasannya.
Baca: Cerita Haru Perjuangan Dokter Tangani Pasien Covid-19, Minim Tenaga Medis, Kerja Tanpa Libur
Kealpaan dalam menyediakan payung hukum, mekanisme pengawasan dan perlindungan, disebut Yoga akan menyebabkan maraknya kasus eksploitasi dan pelanggaran hak. Terutama dalam proses dan praktik perekrutan, pelatihan, dan penempatan yang tidak etis dan aman.
Baca: Soal Penanganan Corona, Menteri Luhut Bantah Pemerintah Tidak Konsisten
"Pemerintah juga seharusnya menetapkan struktur pembiayaan yang jelas. Kemudian pemerintah juga didorong untuk mendisiplinkan aktor-aktor swasta yang selama ini melakukan praktik tidak etis," kata dia.
Baca: Ada PSBB Warga Berjubel di Pasar, Wali Kota Bogor Bima Arya: Marah Iya, Kesel Iya. . .
Kemudian, Yoga mengatakan pemerintah harus meninjau kebijakan syarat pembaharuan Surat Tanda Registrasi.
Pasalnya hal tersebut menjadi kendala besar bagi mantan pekerja perawat Indonesia di Jepang untuk kembali berprofesi sebagai perawat di Indonesia.
Baca: Hikmah Pandemi Corona di Mata Natasha Rizky: Bisa 24 Jam Full Jalani Peran Istri dan Juga Ibu
Terakhir, pemerintah dituntut untuk mendesain ulang program reintegrasi yang disesuaikan dengan karakter dan kebutuhan dalam negeri.
Hal ini merujuk pada fakta dimana setahun lalu Pemerintah Jepang merevisi Undang-Undang Keimigrasian pada April 2019 dengan tujuan menjaring 340.000 pekerja asing kategori Specified Skilled Workers dari beberapa negara di Asia, termasuk Indonesia.
"Skema baru ini sayangnya tidak diikuti oleh penghapusan beberapa skema penempatan tenaga kerja asing yang telah berlaku sebelumnya, yaitu TITP dan EPA," jelasnya.
"Menurut data Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Jepang, pada 21 Januari 2020, terdapat 51.337 orang Indonesia bekerja di Jepang dan lebih separuhnya masuk dalam kategori skema magang," tandasnya.
Sebelumnya diberitakan, Human Rights Working Group (HRWG) Indonesia menemukan praktik perekrutan tidak adil yang berujung pada penarikan biaya berlebih hingga eksploitasi tanpa pengawasan terhadap pekerja migran Indonesia (PMI) yakni para calon pemagang saat proses pra-keberangkatan ke Jepang.