Pemerintah Diminta Jaga Kelancaran Rantai Pasok Pangan Selama Pandemi Covid-19
Kenaikan harga dikhawatirkan akan berlanjut apabila ada gangguan dalam kelancaran rantai pasok pangan di dalam negeri.
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Lita Febriani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom Australian National University dan Anggota Dewan Pengawas Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Arianto Patunru mengatakan pemerintah di seluruh dunia, termasuk Indonesia menghadapi tugas sulit untuk menyeimbangkan antar membatasi ruang gerak masyarakat dan menjaga ketahanan pangan bagi mereka.
Organisasi-organisasi internasional seperti FAO juga telah memperingatkan ketegangan yang terjadi.
Baca: Para Pengunjuk Rasa Aksi George Floyd Menuntut Donald Trump karena Kekerasan Polisi saat Demo
Baca: Kata Anggota Komisi VI DPR soal Pergantian Dirut BUMN: Idealnya Dilakukan Tahun Depan
Mereka menekankan bahwa negara-negara perlu menjaga jalur perdagangan dan rantai pasok tetap terbuka sembari hidup di tengah langkah-langkah pengendalian yang sedang dilaksanakan menurut World Economic Forum 2020.
"Kesulitan ini terlihat jelas dalam implementasi pembatasan sosial di Indonesia. Sebelum pandemi Covid-19 merebak di Indonesia, harga beberapa komoditas pangan sudah mengalami kenaikan, diantaranya beras, bawang putih, bawang bombay dan gula," tutur Arianto saat Webinar CIPS, Jumat (5/6/2020).
Hal ini dikarenakan beberapa hal, seperti terlambatnya rekomendasi impor dari pemerintah hingga pengurusan izin impor yang membutuhkan waktu lama.
Kenaikan harga dikhawatirkan akan berlanjut apabila ada gangguan dalam kelancaran rantai pasok pangan di dalam negeri.
"Gangguan dalam distribusi pangan telah dilaporkan, bahkan sebelum PSBB diberlakukan, seperti adanya keterlambatan pengiriman beras dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur," ungkap Arianto.
Arianto menambahkan implementasi PSBB memang telah diperkirakan memengaruhi logistik transportasi.
Pemberlakuan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 25/2020 yang melarang perjalanan darat, laut serta udara untuk mencegah eksodus massal selama liburan Idul Fitri, tentu memengaruhi kelancaran jalannya rantai pasok.
Implementasi dari aturan ini adalah berupa pemeriksaan di pos-pos yang terletak di titik akses utama seperti jalan tol dan pelabuhan.
Untuk transportasi barang, truk yang mengangkut barang-barang kebutuhan pokok, logistik dan perbekalan kesehatan memang dikecualikan.
Walaupun demikian, pos pemeriksaan tersebut membuat kemacetan dalam distribusi pangan dan karenanya harus dikelola dengan hati-hati.
Pemeriksaan dikhawatirkan dapat mengganggu kelancaran rantai pasok pangan walaupun pangan dikecualikan dari pemeriksaan dan pembatasan.
"Meminimalkan gangguan pada distribusi komoditas pangan antardaerah sangat penting untuk menghindari kelangkaan pada saat pandemi. Produsen utama komoditas pangan pokok seperti beras, ayam, dan gula semuanya terpusat di Jawa, lalu didistribusikan ke berbagai kota di Pulau Jawa dan kota-kota di pulau lain. Sinergi antar pemerintah daerah sangat penting untuk membantu kelancaran distribusi. Lebih baik lagi, jika kerjasama ini merangkul pihak swasta. Banyak di antara mereka yang memiliki jaringan yang lebih efisien," terangnya.
Berdasarkan data BPS, Jawa Tengah merupakan produsen beras terbesar dengan total produksi 5,52 juta ton pada tahun 2019.
Sebanyak 51,15 persen gula Indonesia juga diproduksi di Jawa Timur pada tahun 2018.
Sementara itu, Jawa Barat adalah produsen daging ayam terbesar dengan total 886.752 ton pada 2019.
"Komoditas-komoditas ini perlu didistribusikan, tidak hanya ke daerah-daerah di Pulau Jawa tetapi juga ke seluruh Indonesia," kata Arianto.