Ketegangan AS dan China Belum Meningkat Jadi Pendorong Rupiah ke Rp 13.700
belum terjadinya ekskalasi ketegangan Amerika Serikat (AS) dan China kembali berpotensi juga mendorong sentimen positif hari ini.
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Riset PT Monex Investindo Futures Ariston Tjendra mengatakan, belum terjadinya ekskalasi ketegangan Amerika Serikat (AS) dan China kembali berpotensi juga mendorong sentimen positif hari ini.
Karena itu, dia memprediksi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kemungkinan masih berpotensi menguat hari ini dengan sentimen positif tersebut.
"Potensi menuju level support di Rp 13.700. Dengan potensi resisten di kisaran Rp 14.000," ujarnya di Jakarta, Senin (8/6/2020).
Sementara itu, Ariston menjelaskan, hari ini kemungkinan sentimen positif dari AS masih akan mendorong penguatan aset-aset berisiko.
"Data tenaga kerja AS, nonfarm payrolls (NFP) dan tingkat pengangguran bulan Mei, yang dirilis Jumat malam, yang hasilnya di luar dugaan lebih bagus dari proyeksi, menjadi faktor pemicu baru pembelian aset-aset berisiko," katanya.
Data NFP bulan Mei menunjukkan penambahan jumlah orang yang dipekerjakan di luar sektor pertanian dan pemerintahan sebesar 2,5 juta orang.
Padahal, sebelumnya para analis memperkirakan terjadi pengurangan sebesar 7,7 juta, sehingga tingkat pengangguran pun turun menjadi 13,3 persen dari sebelumnya 14,7 persen.
"Data tenaga kerja AS yang lebih baik ini karena kebijakan AS yang sudah mulai membuka perekonomiannya meskipun masih terkena wabah. Pasar pun masih berekspektasi positif terhadap upaya pembukaan ekonomi di negara-negara pandemi yang lain," pungkasnya.
Aliansi Anti-China
Hubungan China dengan negara-negara Barat semakin memanas dan meningkatkan konfrontasi ke tingkat yang baru, hal ini dipicu sejumlah masalah terkait keamanan dan ekonomi.
Sebuah koalisi gabungan anggota parlemen dari delapan negara telah memprakarsai dibentuknya aliansi lintas parlementer baru.
Dikutip dari laman Sputnik News, Senin (8/6/2020), aliansi ini dibentuk untuk menantang ancaman yang ditimbulkan oleh semakin besarnya pengaruh China akhir-akhir ini.
Baca: Mantan Wapres Joe Biden akan Temui Keluarga George Floyd, Tolak Dikawal agar Tak Ganggu Pemakaman
Baca: Aiman Kompas TV Nanti Malam: Siasat Melepas Pandemi
Kelompok yang dinamakan Aliansi Antar-Parlemen untuk China yang terdiri dari Inggris, Jepang, Kanada, Norwegia, Swedia, Jerman, Australia, Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS) itu berpendapat bahwa kerja sama internasional ini memang sangat diperlukan.
Ini dilakukan untuk memerangi apa yang mereka sebut sebagai ancaman terhadap nilai-nilai demokrasi yang ditunjukkan oleh China.
Dalam sebuah pernyataan, kelompok itu mengatakan bahwa mereka memiliki misi untuk membangun tanggapan yang tepat dan terkoordinasi.
Selain itu juga membantu menyusun tanggapan proaktif dan strategis terkait masalah yang berkaitan dengan negara yang dipimpin Presiden Xi Jinping itu.
Ketua bersama kelompok itu terdiri dari Senator Partai Republik AS Marco Rubio dan Senator Partai Demokrat AS Robert Menendez, mantan Menteri Pertahanan Jepang Gen Nakatani, anggota Komite Urusan Luar Negeri Parlemen Eropa Miriam Lexmann serta anggota Parlemen Konservatif Inggris yang cukup dikenal, Duncan Smith.
"Waktunya telah tiba bagi negara-negara demokratis untuk bersatu dalam bidang pertahanan bersama yang dibangun atas nilai-nilai bersama, saya senang menjadi Ketua Bersama Aliansi Antar-Parlemen untuk China ini," cuit Smith, dalam akun Twitternya.
Dalam sebuah pernyataan video yang dikeluarkan oleh kelompok itu, mereka menyatakan bahwa China merupakan tantangan global.
"China, di bawah kekuasaan Partai Komunis China, telah mewakili tantangan global. Ini akan menentukan abad berikutnya, ini adalah tantangan yang akan berdampak pada kita semua," kata aliansi itu.
Menurut mereka, tantangan ini akan bertahan lebih lama dan dunia harus menyiapkan diri untuk menghadapi negara tersebut.
"Apa yang pernah kita yakini tentang kebangkitan China, tidak lagi sesuai dengan kenyataan. Kami pikir China akan terbuka seiring waktu, tapi ini belum terjadi," jelas aliansi itu.
Seorang Diplomat senior China menolak keberadaan aliansi itu dalam sebuah pernyataannya kepada BBC.
"Mereka itu salah tafsir terhadap kebijakan luar negeri China dan salah membaca situasi dunia saat ini. China adalah kekuatan untuk menuju perubahan positif," tegas Diplomat senior China.
Perlu diketahui, pembentukan aliansi ini merupakan simbol bahwa hubungan internasional antara China dengan sejumlah negara Barat tengah berada pada titik kritis.
Baru-baru ini, pemerintah Inggris telah berjanji untuk menawarkan kewarganegaraan bagi pemegang paspor di Hong Kong jika China tidak menunda Rancangan Undang-undang (RUU) Keamanan yang bertujuan untuk mencegah protes yang lebih luas di wilayah tersebut.
Dalam sebuah pernyataan setelah pemerintah China mengusulkan Undang-undang Keamanan Nasional, Menteri Dalam Negeri Inggris Priti Patel, mengeluarkan pernyataan yang menyatakan bahwa pihaknya akan mencari opsi untuk membela hak dan kebebasan warga Hong Kong.
"Jika China memberlakukan Undang-undang ini, kami akan mencari opsi, termasuk jalur menuju kewarganegaraan. Kami akan terus membela hak dan kebebasan rakyat Hong Kong," tegas Patel.
Menanggapi hal ini, China menuduh Inggris melakukan 'campur tangan kotor' dalam urusan negara itu dan menyerukan agar negeri Britania Raya tersebut tidak ikut campur.
Bahkan China mengancam bahwa akan ada konsekuensi yang diterima Inggris jika terus mengurus urusan dalam negeri China terkait Hong Kong.
Selain itu, saat ini para pembuat undang-undang dari Australia, AS, Inggris, dan UE telah menjadi semakin vokal terkait perlunya membangun penyelidikan internasional terhadap penanganan virus corona (Covid-19) di China.
Administrasi Presiden AS Donald Trump, dalam banyak kesempatan mengklaim bahwa AS memiliki bukti yang menunjukkan bahwa virus tersebut berasal dari laboratorium di Wuhan, provinsi Hubei, China.
Sejumlah masalah terkait keamanan lainnya, seperti perselisihan teritorial atas pulau-pulau di Laut China Selatan antara China dan negara-negara tetangga di Asia Tenggara, serta sengketa pulau Senkaku-Diaoyu yang sedang berlangsung dengan Jepang juga terus menimbulkan ketegangan di kawasan Asia Pasifik.
AS bahkan telah memimpin agenda untuk melobi sekutu-sekutunya agar menolak permohonan izin China yang ingin membangun peralatan telekomunikasi 5G di negara mereka.
Langkah ini dilakukan dengan alasan bahwa perizinan berisiko membuat China dapat mengakses data keamanan nasional yang sensitif.
Baru-baru ini, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengancam jika Australia mengizinkan China membangun jaringan 5G di wilayahnya, maka AS akan 'memutuskan' hubungan dengan negara itu.
Menanggapi langkah AS ini, China menuding pemerintahan Trump tengah berupaya mendorong situasi AS-China menuju 'perang dingin baru'.
Seperti yang disampaikan Menteri Luar Negeri China Wang Yi.
"China tidak punya niat untuk berubah, apalagi menggantikan Amerika Serikat. Sudah waktunya bagi AS untuk melepaskan angan-angannya mengubah China dan mereka tidak bisa menghentikan langkah 1,4 miliar orang dalam perjalanan bersejarah menuju modernisasi," kata Yi.