Mitigasi Investasi Ilegal Berkedok Koperasi, Kemenkop Gandeng Otoritas Pengawas
Maraknya investasi ilegal disebabkan banyaknya permintaan masyarakat akan jasa keuangan yang diikuti dengan rendahnya pengetahuan masyarakat.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Koperasi dan UKM menggandeng otoritas pengawasan seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bareskrim Polri dalam rangka mitigasi investasi ilegal berkedok koperasi.
Demikian dikatakan Deputi Bidang Pengawasan KemkopUKM, Ahmad Zabadi di Jakarta, Selasa (21/7/2020).
"Penguatan kerja sama dengan otoritas pengawas lain seperti OJK, Ombudsman, BI, PPATK, KPPU, dan Polri diperlukan," kata Ahmad.
Ia juga mengatakan ke depan harus ada dukungan regulasi, berupa RUU Perkoperasian dan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) di mana KemkopUKM memberikan tiga usulan penambahan rumusan RUU Cipta Kerja.
"Kami mengusulkan pengaturan sistem pengawasan koperasi, penetapan lembaga penjamin simpanan anggota koperasi, dan penetapan adanya sanksi pidana dan denda," ujarnya.
Kemudian, pelaksanaan pengawasan dengan standar yang sama, terintegrasi, dan digitalisasi, melalui regrouping eksisting regulasi terkait kelembagaan dan usaha koperasi berbasis potensi risiko (Buku I, II, III, IV), Good Corporate Governance, dan kinerja.
"Serta percepatan pengisian jabatan fungsional pengawas koperasi provinsi/ kabupaten/kota," urainya.
Menurut Ahmad Zabadi, hal seperti di atas telah disampaikannya dalam diskusi Webinar dalam rangka selebrasi Hari ke-73 Koperasi Nasional.
Baca: Pengamat USU: RUU Cipta Kerja Bisa Tingkatkan Investasi dan Lapangan Kerja
Baca: Pengamat Sebut Masa Pandemi Ideal untuk Investasi Properti
Sementara itu, Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L. Tobing menyampaikan beberapa hal penting di antaranya data entitas ilegal tahun 2017-2020 bahwa terdapat 158 fintech yang telah terdaftar di OJK dan semuanya tidak ada yang berbadan hukum koperasi, sehingga apabila terdapat koperasi yang melakukan fintech, maka hal tersebut adalah ilegal.
"Beberapa tahun belakangan jumlah lembaga keuangan ilegal berbasis digital mengalami tren perkembangan, dengan perkiraan total kerugian masyarakat dari tahun 2009 hingga 2019 mencapai angka Rp 92 triliun," ucap Tongam.
Menurutnya, kerugian masyarakat tersebut tidak di-cover oleh aset yang disita dalam rangka pengembalian dana masyarakat.
Maraknya investasi ilegal disebabkan banyaknya permintaan masyarakat akan jasa keuangan yang diikuti dengan rendahnya pengetahuan masyarakat.