Simplifikasi Cukai Tembakau Dituding Picu Oligopoli, Ini Kata Pengamat
Denny menerangkan Cukai Hasil Tembakau (CHT) dengan regulasi saat ini membuat terjadinya persaingan yang tidak sehat.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Research Coordinator DDTC Indonesia Denny Visaro menegaskan kebijakan simplifikasi cukai yang dianggap dapat menyebabkan terjadinya oligopoli kepada industri hasil tembakau tidak berdasar.
Menurutnya, aturan simplifikasi justru akan mendorong terciptanya level of playing field yang lebih setara.
Denny menerangkan Cukai Hasil Tembakau (CHT) dengan regulasi saat ini membuat terjadinya persaingan yang tidak sehat.
Baca: Gappri: Simplifikasi Cukai Ancam Keberlangsungan Industri Hasil Tembakau
"Pertama berkaitan dengan struktur tarif dari produk hasil tembakau yang bersifat kompleks, berkaitan dengan penyesuaian tarif CHT dan HJE (Harga Jual Eceran) yang tidak menentu baik antar golongan maupun antar jenis hasil tembakau dan terakhir berkaitan dengan aspek pengendalian produk tembakau," kata Denny dalam keterangannya, Senin (27/7/2020).
“Permasalahannya sangat beragam yakni mulai dari potensi masih adanya shortfall untuk penerimaan CHT pada tahun ini, hingga level of playing field yang tidak setara antara pelaku bisnis yang memiliki hubungan istimewa dengan berbagai pabrikan besar dan para pelaku bisnis skala mikro dan menengah yang independen karena banyaknya strata tarif CHT di Indonesia,” jelasnya.
Pemerintah sebenarnya telah mengupayakan untuk menutup potensi masalah tersebut melalui PMK 146/2017 yang menghadirkan peta jalan simplifikasi strata tarif CHT secara bertahap hingga mencapai 5 layer rokok kategori SKM, SPM, SKT pada tahun 2021.
Denny menerangkan penyederhanaan strata tarif cukai ini dilakukan untuk mencapai tiga tujuan utama yaitu optimalisasi penerimaan CHT, meningkatkan kepatuhan pengusaha pabrik hasil tembakau atau importir, serta penyederhanaan sistem administrasi di bidang cukai.
Akan tetapi, simplifikasi ini batal dilanjutkan pasca terbitnya PMK 156/2018.
Saat ini, strata tarif CHT di Indonesia bersifat multi layer yang kompleks dengan adanya 10 layer.
"Perusahaan rokok yang memiliki modal serta kapasitas produksi yang besar dapat memanfaatkan kerumitan dari strata tarif CHT melalui sistem pembatasan produksi tersebut untuk bertahan di golongan 2," terangnya.
Dikarenakan kenaikan tarif CHT yang akan terjadi terus menerus, para produsen juga memiliki potensi yang semakin besar untuk menghindari beban cukai melalui eksploitasi layer tarif golongan yang lebih rendah.
Cara yang digunakan melalui strategi pembatasan produksi hingga melakukan akuisisi pabrikan di layer yang lebih rendah.
"Jika ditinjau dari sisi entitas grup usaha, pelaku bisnis IHT ini sudah sepatutnya berada di golongan teratas masing – masing kategori. Dengan kata lain, kenaikan golongan strata tarif CHT untuk perusahaan besar ke golongan 1 akan menjadikan persaingan usaha justru semakin adil, terutama bagi pabrikan kecil menengah,” kata Denny.
Kondisi yang terjadi saat ini justru sebaliknya, di mana perusahaan kecil menengah di golongan 2 dan 3 justru harus bersaing langsung dengan entitas besar melalui tarif CHT dan HJE yang sama.
“Pada akhirnya persaingan usaha di IHT nasional menjadi kurang adil dan berimbang,” ujarnya.
Berdasarkan klasifikasi entitas induk dengan produk rokok dari masing – masing perusahaan tersebut, ditemukan bahwa simplifikasi yang mengacu pada PMK 146/2017 tidak akan mematikan pabrikan kecil.
Sebaliknya simplifikasi ini mampu menutup celah dimana pabrikan besar bermain di golongan yang seharusnya dimanfaatkan untuk pabrikan kecil.