Komisi IX Cecar Menaker dan Dirut BPJS Ketenagakerjaan Ihwal Subsidi Upah yang Tak Tepat Sasaran
Pimpinan hingga anggota Komisi IX mencecar dan mengkritik program bantuan subsidi sebesar Rp600 ribu dari pemerintah tidak tepat sasaran.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi IX DPR RI menggelar rapat kerja dengan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah dan Direktur Utama (Dirut) BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto, Rabu (26/8/2020).
Dalam rapat itu, pimpinan hingga anggota Komisi IX DPR mencecar dan mengkritik program bantuan subsidi sebesar Rp600 ribu dari pemerintah tidak tepat sasaran.
Salah satu yang melontarkan kritik adalah Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Fraksi PDIP Sri Rahayu.
Sri Rahayu menegaskan Guru Tidak Tetap (GTT) dan Pegawai Tidak Tetap (PTT) seharusnya lebih diprioritaskan menerima bantuan subsidi ini daripada pekerja/karyawan swasta dengan gaji dibawah Rp5 juta.
Dia beralasan upah GTT dan PTT tak lebih dari Rp1 juta per bulannya. Bahkan masih ada yang mendapatkan upah hanya Rp200-300 ribu per bulannya.
Baca: Menaker Beberkan Kriteria Penerima Program Subsidi Upah Rp600 Ribu
"Kalau di sini pasti yang perusahan-perusahaan besar yang akan mendapatkan. Bukan saya tidak suka mereka yang gajinya Rp4 juta-an mendapatkan bantuan. Tapi ini ada yang lebih berhak mendapatkan yaitu para GTT dan PTT," ujar Sri Rahayu, di Ruang Rapat Komisi IX DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (26/8/2020).
Baca: Rapat dengan Menaker, Komisi IX Minta Penjelasan Terkait Program Subsidi Upah Bagi Pekerja
Menurut politikus PDIP itu, jika para GTT dan PTT menerima bantuan subsidi tersebut maka tentu akan bagaikan mendapat rezeki di tengah pandemi ini.
"Bagi GTT-PTT bantuan selama empat bulan sebesar Rp600 ribu per bulan, bagi yang biasanya hanya mendapatkan Rp200-300 ribu, itu luar biasa. Bagi mereka seperti mendapatkan durian runtuh," kata dia.
Sementara itu, anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PAN Saleh Partaonan Daulay mempertanyakan mengapa penerima bantuan subsidi terbatas pada pekerja atau buruh yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan.
Saleh menilai bantuan dari negara tidak seharusnya memilah-milah siapa penerimanya. Apalagi bila rakyat yang tidak tercatat di BPJS Ketenagakerjaan menjadi korban.
"Nanti kalau ada alasan pemerintah 'mengapa para pekerja itu tidak daftar BPJS Ketenagakerjaan', ya jangan salahkan rakyat juga," ujar Saleh.
Dia juga mempertanyakan nasib mereka yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat pandemi Covid-19 sehingga terpaksa keluar dari keanggotaan BPJS Ketenagakerjaan.
Menurut Saleh, mereka yang di-PHK tentu lebih kesulitan dibandingkan mereka yang masih bekerja dengan menerima gaji dibawah Rp5 juta. Saleh juga menilai gaji dibawah Rp5 juta tergolong besar.
"Gaji dibawah Rp5 juta itu besar sebetulnya, menurut saya itu besar. Di kampung-kampung itu Rp2 juta sudah lumayan, sudah baguslah Rp2 juta itu. Saya nggak tahu, jangan-jangan target sasarannya (bantuan subsidi upah) di kota-kota besar juga ini?" tanya Saleh.
Tak hanya itu, Saleh turut mempertanyakan mengapa bantuan subsidi upah ini hanya ditujukan bagi pekerja formal dan tidak bagi pekerja informal. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), Saleh menyebut ada 70,49 juta pekerja informal di Indonesia.
"Bagaimana yang kerjanya sopir siang malam angkut penumpang antar kota antar provinsi yang sekarang terdampak karena orang nggak mau pindah dari satu kota ke kota lain. Bagaimana dengan petani, nelayan, buruh bangunan, tukang cukur, pedagang asongan, yang berteriak-teriak?," tandasnya.