Benarkah Pasal-pasal UU Cipta Kerja Rugikan Buruh? Ini Kata Serikat Pekerja BUMN
Tri Sasono menyarakan, syarat dan perlindungan hak bagi pekerja atau buruh dalam outsourcing masih tetap dipertahankan dalam UU Cipta Kerja
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah pihak mengkritik Omnibus Law UU Cipta Kerja yang dipandang dapat merugikan pekerja atau buruh. Ini khususnya terkait klaster ketenagakerjaan.
Namun demikian, Tri Sasono selaku koordinator Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu, Gabungan Serikat Pekerja Pelabuhan Indonesia, Federasi Serikat Pekerja Perkebunan Indonesia, Koalisi Nasional Serikat Pekerja Indonesia, dan Federasi Serikat Pekerja Mandiri menyatakan, tidak ada satupun pasal dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja yang merugikan kaum pekerja atau buruh.
Baca: Bantah Pernyataan Jokowi, KSPI Sebut Demo Tolak UU Cipta Kerja Tak Didasari Hoaks & Disinformasi
"Kami telah membaca dan mempelajari pasal demi pasal UU Ciptaker untuk klaster ketenagakerjaaan yang terkait kesejahteraan kaum pekerja," ujar Tri Sasono dalam keterangan tertulis, Minggu (11/10/2020).
Salah satu yang menjadi sorotan adalah soal kabar upah minimum pekerja yang akan dihapuskan. Meski begitu, Tri Sasono menyatakan hal tersebut tidak benar.
Baca: PKS: Draf UU Cipta Kerja Belum Ada, Bagaimana Disebut Hoaks
"Peraturan terkait upah minimum pekerja dalam UU Ciptaker tidak dihapuskan, tetapi perhitungan tetap mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Pendapatan Pekerja yang diterima tidak akan turun sama sekali," sebutnya.
Kata dia, terkait hak-hak buruh yang terdampak pemutusan hubungan kerja atau PHK untuk mendapatkan pesangon UU Ciptaker juga tetap mengatur terkait pesangon, yaitu adanya kepastian pembayaran pesangon dan korban PHK mendapat tambahan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Baca: Ada Dua Langkah Batalkan Undang-Undang Cipta Kerja Setelah Disahkan DPR
"Selain itu juga buruh korban PHK mendapatkan fasilitas peningkatan kompetensi atau up skilling serta diberikan akses ke pekerjaan baru dari pemerintah," terang Tri Sasono.
Berikutnya, terkait jam kerja bagi buruh bahwa dalam UU Ciptaker pengaturan mengenai waktu kerja mulai dari hari aktif, hari libur, istirahat, hingga hari cuti dalam UU Ciptaker masih sama seperti UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Begitu juga pemberi kerja dan pengusaha wajib memberikan waktu istirahat bagi pekerja termasuk untuk beribadah serta memberikan cuti baik untuk melahirkan, menyusui, dan haid tetap disesuaikan dengan UU 13/2003.
"Sementara yang sifatnya jenis pekerjaan tertentu dan membutuhkan fleksibilitas seperti pekerjaan director e-commerce dan digitalisasi itu diatur khusus dalam hal jam kerjanya," papar dia.
Menurut Tri Sasono, terkait PKWT dalam UU Ciptaker menguntungkan buruh. Pekerja waktu tertentu atau pekerja kontrak kini mendapatkan kompensasi saat perjanjian kerjanya berakhir dengan syarat merujuk UU 13/2003.
Selanjutnya, terkait sistem pekerjaan yang mengunakan tenaga outsourcing dalam UU Ciptaker menjamin kepastian keberlanjutan pekerja alih daya tersebut.
"Di mana selama ini banyak perusahaan jasa outsourcing dan penggunanya mengakali para pekerja outsourcing dalam hal kepastian pekerjaan dan masa kerjanya yang hanya tiga tahun saja," jelasnya.
Tri Sasono menyarakan, syarat dan perlindungan hak bagi pekerja atau buruh dalam outsourcing masih tetap dipertahankan. Bahkan, UU Cipta Kerja memasukkan prinsip pengalihan perlindungan hak bagi pekerja atau buruh apabila terjadi pergantian perusahaan alih daya sepanjang obyek pekerjaannya masih ada.
"Jika seperti ini maka setelah pekerja outsourcing menjalankan masa kerja lebih dari tiga tahun dan melakukan perpanjangan kontraknya maka perusahaan penguna jasa pekerja outsourching wajib menjadikan mereka berstatus tenaga kerja tetap dan memiliki fasilitas gaji dan kesejahteraan sebagai pekerja tetap di perusahaan tersebut sesuai UU 13/2003," tutur Tri Sasongo.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Apakah Pasal-pasal UU Cipta Kerja Rugikan Buruh? Ini Kata Serikat Pekerja"