Percepat Transformasi Energi Fosil ke Terbarukan, Energi Air Bisa Menjadi Solusi Alternatif
Penggunaan energi air untuk listrik sangat penting untuk mitigasi perubahan iklim dan mencapai penurunan emisi karbon.
Penulis: Choirul Arifin
Editor: Johnson Simanjuntak
Laporan Wartawan Tribunnews, Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penggunaan energi air untuk listrik sangat penting untuk mitigasi perubahan iklim dan mencapai penurunan emisi karbon.
Karenanya, Indonesia perlu mempercepat transformasi dari energi fosil ke energi terbarukan seperti bersumber dari energi air untuk penyediaan listrik sebagai upaya mitigasi perubahan iklim dan mencapai target mengurangi emisi karbon.
Transformasi juga untuk meningkatkan ketahanan energi nasional.
Upaya transformasi energi harus mendapat dukungan semua pihak karena semua negara di dunia juga sedang melakukannya. Selama ini penggunaan energi fosil menjadi salah satu sumber emisi karbon di dunia yang memicu perubahan iklim.
Sebagai upaya terus mendukung pemerintah mengurangi emisi karbon dan mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2025, akhir tahun ini PLN meluncurkan transformasi energi berupa program Konversi Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) ke pembangkit baru yang berbasis energi terbarukan.
Pakar komunikasi hijau Wimar Witoelar, yang juga pendiri Yayasan Perspektif Baru, Sabtu (14/11/2020) mengatakan, kita harus memiliki perspektif yang sama mengenai pentingnya melakukan transformasi energi ke terbarukan untuk mitigasi perubahan iklim.
Wimar mengatakan, saat ini perubahan iklim makin menjadi kenyataan, dan salah satu upaya dari sektor energi adalah beralih ke energi terbarukan, seperti pembangkit listrik tenaga air.
Baca juga: Subsidi Energi Listrik dan Elpiji Secara Langsung akan Lebih Tepat Sasaran
Dia menjelaskan, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang besar mencapai 442 GW. Salah satunya berupa energi air mencapai 75 ribu MW.
Salah satu upaya pemanfaatan energi terbarukan di program strategis nasional adalah Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru berkapasitas 510 MW di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.
Pembangunan PLTA Batang Toru memiliki dampak positif yang besar juga untuk mitigasi perubahan iklim. PLTA tersebut bagian dari upaya mengurangi emisi karbon nasional dari sektor energi.
PLTA Batang Toru diatur untuk berkontribusi pada pengurangan emisi karbon sekitar 1,6 juta ton per tahun atau setara dengan kemampuan 12 juta pohon menyerap karbon.
Dengan adanya manfaat besar dari PLTA, saat ini Indonesia sudah seharusnya lebih fokus memaksimalkan pemanfaatan energi listrik dari sumber terbarukan, termasuk yang bersumber dari air.
Pengembangan energi terbarukan bukan semata mata untuk ketahanan energi tapi juga dilakukan untuk mitigasi perubahan iklim terutama mencapai target penurunan karbon.
Menurut Surya Darma, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan, Indonesia punya energi terbarukan yang sangat lengkap. Ada air, panas bumi, matahari, angin, laut, hingga hutan bio energi, dan sebagainya.
“Sayangnya, pemanfaatan energi terbarukan ini belum maksimal, karena kita masih banyak memakai energi fosil,” ungkap Surya.
Agar maksimal, ia menyarankan pemerintah untuk memberikan perlakuan yang sama. Artinya, kalau pemerintah memberikan subsidi pada sektor energi lain, maka pemanfaatan energi terbarukan juga harus disubsidi.
"Apalagi, energi terbarukan itu bersih dan dapat menurunkan emisi karbon, bisa berkelanjutan, bahkan tidak akan habis kalau dipakai,” tambah dia.
Diakui Surya, sebenarnya ada hal positif yang telah dilakukan pemerintah terkait energi terbarukan.
Indonesia sudah punya Kebijakan Energi Nasional, yang di dalamnya disebutkan bahwa tahun 2025, energi terbarukan minimal harus 23%. Artinya, ada target yang harus dicapai pemerintah.
“Selain itu, hal positif lainnya adalah pemerintah ikut menandatangani Paris Agreement, yang di dalamnya jelas menyebutkan bahwa harus menurunkan emisi, salah satunya adalah menggunakan energi yang bersih. Itu artinya, harus menggunakan energi terbarukan,” ungkap Surya.
Sementara itu, seluruh dunia telah sepakat dalam Paris Agreement di COP ke-21 pada 2015 untuk setiap negara menurunkan emisi karbonnya bagian dari mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Indonesia memiliki komitmen nasional berkontribusi, dengan salah satunya melalui target 23% energi terbarukan dari total campuran energi primer nasional pada tahun 2025.
Kini dampak perubahan iklim makin nyata dirasakan. Pada akhir tahun ini PBB melaporkan bahwa perubahan iklim telah meningkatkan frekuensi, intensitas, dan tingkat keparahan bencana cuaca.
Selama 50 tahun terakhir, dunia telah menyaksikan lebih dari 11.000 bencana terkait cuaca yang telah menyebabkan sekitar dua juta kematian dan kerugian ekonomi global senilai USD 3,6 triliun.