Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Pengamat: Indonesia Harus Optimis Pulihkan Ekonomi di Tengah Resesi

Menurut Budi, ekonomi Indonesia masih tumbuh 2,97 persen di kuartal pertama, meski mengalami kontraksi year on year dibanding 2019.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Pengamat: Indonesia Harus Optimis Pulihkan Ekonomi di Tengah Resesi
Ist
Pengamat Ekonomi dari Institute Teknologi Bisnis Ahmad Dahlan (ITB AD) Jakarta, Sutia Budi. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia kini memasuki masa resesi akibat pandemi Covid-19 setelah Mnteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkannya pada awal November lalu.

Pengamat Ekonomi dari Institute Teknologi Bisnis Ahmad Dahlan (ITB AD) Jakarta, Sutia Budi, mengungkapkan resesi terjadi sebagai konsekuensi pandemi virus corona yang telah menimbulkan dampak hebat pada perekonomian.

“Terganggunya kegiatan perekonomian telah membuat ekonomi nasional mengalami perlambatan. Sehingga sesuai dengan defenisi resesi ekonomi yang diakui dunia, resesi ditetapkan jika pertumbuhan ekonomi minus dalam dua kuartal,” ujar Budi dalam keterangannya, Senin (16/11/2020).

Menurut Budi, ekonomi Indonesia masih tumbuh 2,97 persen di kuartal pertama, meski mengalami kontraksi year on year dibanding 2019.

Baca juga: Kerja Berat Dongkrak Konsumsi di Tengah Pandemi dan Resesi  

Sedangkan pada kuartal kedua, ekonomi Indonesia minus 5,32 persen.

“Namun kondisi ini juga dialami negara lain, seperti Inggris yang minus 20 persen, India minus 23 persen, Amerika Serikat minus 32,9 persen, serta Singapura minus hingga 42 persen,” tukas Wakil Rektor ITB AD Jakarta tersebut.

Lebih lanjut Budi mengingatkan, Bank Dunia telah memproyeksikan adanya resesi ekonomi secara global dengan perkiraan pertumbuhan minus hingga 8-9 persen yang dialami 92,9 persen negara di dunia.

Berita Rekomendasi

“Sehingga masih patut disyukuri, ekonomi Indonesia hanya minus 3,4 persen pada kuartal ketiga, sedangkan India pertumbuhan ekonominya minus 23,9 persen, Pakistan turun 12,5 persen, Malaysia minus 17,1 persen, Thailand minus 12,2 persen, dan Singapura minus 12,6 persen,” sebut Budi.

Menurut kandidat doktor ekonomi Institute Pertanian Bogor (IPB) itu, hal tersebut antara lain disebabkan perbedaan kebijakan lockdown.

“Jokowi menerapkan parsial lockdown, sehingga ekonomi masyarakat tetap berjalan di sebagian daerah. Begitu pula pemberlakuan protokol kesehatan ketat dan tracking agresif yang mampu menjaga aktivitas ekonomi tetap berjalan,” ujarnya.

Penyebab lainnya, lanjut Budi, disebabkan sejumlah kebijakan fiskal dan moneter yang dinilai mampu menyangga kemerosotan ekonomi, seperti pengalihan (refocusing) APBN secara agresif guna mengatasi dampak pandemi, relaksasi perpajakan hingga kebijakan restrukturisasi kredit perbankan yang sangat membantu pelaku ekonomi dan masyarakat.

“Relokasi APBN yang difokuskan pada belanja kesehatan, jaring pengaman sosial, serta pemulihan dunia usaha merupakan langkah brilian. Pemerintah menganggarkan dana hingga Rp 695,2 triliun guna membiayai program pemulihan ekonomi nasional. Bantuan modal usaha bagi 12 juta pelaku usaha mikro sebesar 2,4 juta rupiah per pelaku usaha adalah salah satu realisasinya,” papar Budi.

Budi juga mengingatkan pemerintah akan dampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dimana Kadin menyebut 6,4 juta pekerja dirumahkan atau di-PHK hingga awal Oktober, sedangkan Kementerian Tenaga Kerja menyatakan 3 juta pekerja di PHK periode Maret-Juli.

“Hal ini berpotensi meningkatkan resiko kerawanan sosial, seperti kriminalitas dan konflik sosial. Semoga melakukan refocusing APBN pada program bantuan sosial bisa mengantisipasi kemungkinan ini,” harapnya.

Seperti diketahui, cukup banyak program pemerintah dalam mengatasi dampak pandemi, seperti subsidi gaji untuk 15,7 juta pekerja dengan alokasi Rp 37,8 triliun, diskon listrik 33,6 juta pelanggan PLN dengan anggaran Rp 15,4 triliun, program Kartu Pra-kerja sebesar Rp 20 triliun rupiah untuk 6 juta penerima.

Juga Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa sebesar Rp 31,8 triliun bagi 12 juta lebih kepala keluarga, bantuan sembako khusus wilayah Jabodetabek untuk 4,2 kepala keluarga dengan anggaran Rp 6,8 triliun, bansos tunai non Jabodetabek dengan anggaran Rp 32,4 triliun untuk 19,1 juta penerima, serta program sektoral lain yang diharapkan membantu kesulitan masyarakat.

Namun demikian, Budi meyakini pemulihan ekonomi juga meniscayakan partisipasi dan kegotongroyongan seluruh elemen bangsa.

“Modalitas kegotongroyongan itu sangat berharga, karena secara historis telah terbukti berulang kali menyelamatkan bangsa Indonesia melalui momen-momen sulit kita dalam berbangsa,” tutupnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas