Kemenperin Berharap Industri Petrokimia Mulai Gunakan Energi Terbarukan Pada 2030
Pada 2030, Kemenperin memproyeksikan produksi kimia dasar akan meningkat, kemudian penggunaan bahan baku dan kawasan industri semakin optimal.
Penulis: Sanusi
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Perindustrian memproyeksikan pada 2030 proses produksi industri petrokimia sudah dapat dilakukan dengan berbasis energi terbarukan.
Direktur Jenderal Industri Kimia Farmasi dan Tekstil Kemenperin Muhamad Khayam menyampaikan harapan tersebut dalam diskusi bertajuk Indonesia Petrochemical and Plastic Industry Outlook 2021 dari Jakarta, Rabu (18/11/2020).
"Diharapkan, pada 2030 industri petrokimia ini nantinya berbasis renewable energy,” kata Khayam, Rabu (18/11/2020).
Khayam mengakui, pada Indonesia’s Chemical 4.0 terdapat beberapa tantangan, mulai dari pabrik tidak efisien, adaptasi teknologi rendah, kurangnya kemampuan R&D, dan persoalan rantai pasok
Di sisi lain, produksi berbasis migas dan batubara tetap akan dilaksanakan secara beriringan. Hal tersebut berkaitan dengan skema Indonesia’s Chemical 4.0 yang ingin dicapai.
Baca juga: Pertamina dan Chandra Asri Teken Perjanjian Kerja Sama Pengembangan Bisnis Petrokimia Nasional
Pada 2030, Kemenperin memproyeksikan produksi kimia dasar akan meningkat, kemudian penggunaan bahan baku dan kawasan industri semakin optimal.
Lalu, produktivitas di semua rantai nilai semakin meningkat, dan terdapat produsen biochemical dan kimia berbasis migas batubara terkemuka.
Baca juga: Petrokimia Gresik Siapkan Strategi Menuju Related Diversified Industry
Untuk menuju ke sana, Khayam menyatakan dalam tiga hingga lima tahun pertama hingga 2021, Kemenperin akan berupaya mengurangi impor kimia dasar hingga 35 persen dengan beberapa cara.
Di antaranya meningkatkan kapasitas pemurnian nafta dan kimia dasar (olefin dan aromatik) untuk menyalurkan ke industri hilir.
Selanjutnya, meningkatkan efisiensi dengan menggunakan teknologi 4IR, serta memperkuat produksi serat sintetis untuk mendukung industri tekstil.
Lima sampai sepuluh tahun selanjutnya yakni pada 2025, Kemenperin berupaya meningkatkan kontribusi penjualan resin sintetis dan serat sintetis sebesar lebih dari 1,5 kali, dengan meneruskan peningkatan produksi serat sintetis, memperkuat produksi produk perantara, dan meningkatkan kemampuan untuk mengubah biomassa menjadi biokimia dasar.
“Terakhir, 10 sampai 15 tahun hingga 2030, Kemenperin membidik Indonesia menjadi Top 5 produsen biofuel dan bioplastic,” kata Khayam.