Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Tantangan Mempertahankan Bisnis Keluarga di Masa Pandemi

Bisnis keluarga atau bisnis yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh sebuah keluarga ternyata berjumlah 95% dari total perusahaan di Indonesia

Penulis: Choirul Arifin
Editor: Eko Sutriyanto
zoom-in Tantangan Mempertahankan Bisnis Keluarga di Masa Pandemi
ist
Apung Sumengkar, CEO Daya Qarsa Consultant 

Laporan Wartawan Tribunnews, Choirul Arifin

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebagian besar entitas bisnis yang beroperasi di Indonesia masih menggunakan manajemen keluarga. Artinya, ada pelibatan anggota keluarga inti di jajaran manajemen perusahaan untuk mengendalikan operasionalnya sehari-hari.

Data menyebutkan, bisnis keluarga, atau bisnis yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh sebuah keluarga ternyata berjumlah 95% dari total perusahaan di Indonesia.

Data yang dirilis firma audit asal AS,  Pricewaterhouse Coopers (PwC) beberapa tahun silam itu membuka mata bahwa pengaruh bisnis keluarga di Indonesia sangat besar.

Dengan jumlah pekerja mencapai jutaan orang bisa jadi efek domino bisnis keluarga dapat menghidupi hingga puluhan bahkan ratusan juta orang di Indonesia.

CEO Daya Qarsa, Apung Sumengkar berpendapat, menyelamatkan bisnis keluarga sangat vital, khususnya di era pandemi.

Baca juga: Ulang Tahun yang Ke-20 Tahun, Dimas Ahmad Ungkap Ingin Rintis Bisnis, Nagita Khawatir soal Ini

“Karena bisnis keluarga inilah wajah dari legacy, budaya Indonesia. Sebuah bisnis yang mengedepankan nilai-nilai keluhuran keluarga, namun sekaligus menempatkan profesionalisme sebagai ujung tombak kemajuan bisnisnya, tahun demi tahun,” ujar Apung yang kini mengelola perusahaan yang bergerak di bidang konsultasi transformasi bisnis holistic.

Berita Rekomendasi

Apung menjelaskan, sebagian besar dari kita pernah mendengar survey yang dirilis oleh Small Business Administration Survey di Amerika Serikat yang mengungkapkan, lebih dari 70% bisnis keluarga tidak dapat bertahan melewati generasi kedua.

Lebih mengenaskan, 8%-nya tidak dapat melewati hingga generasi ketiga.

Berbagai alasan bisa dikemukakan untuk menjawabnya.

“Namun kami di Daya Qarsa telah mengidentifikasi empat komponen utama yang menjadi determinan utama dalam keberlangsungan bisnis keluarga. Keempatnya yakni, tentu saja yang pertama, aspek Family, selanjutnya Ownership, lalu Wealth Management, dan terakhir Business Portfolio & Governance,” urai Apung yang pernah 15 tahun berkarier di sejumlah perusahaan multinasional dan perusahaan konsultan dunia ini.

Apung juga menyinggung tentang new business and innovation development yang merupakan turunan elemen Business Portfolio & Governance.

Baca juga: Sosok Ayah Indra Priawan, Bukan Orang Sembarangan, Berperan Penting di Bisnis Keluarga hingga Sukses

"Mengapa inovasi? Karena aspek inilah yang membedakan antara yang bertahan dengan yang terlindas zaman, antara pemenang dengan pecundang," ujarnya.

Tak heran, Bapak Manajemen Modern Peter Drucker mengumandangkan dengan tegas, innovate or die, berinovasi atau mati,” jelas Apung yang menempuh pendidikan S-1 Teknik Industri di Universitas Indonesia, MBA Manajemen Strategis di RSM Erasmus University, Belanda, dan kandidat PhD Manajemen Strategis Universitas Indonesia.

Lazimnya, urai Apung, secara garis besar dikenal tiga jenis inovasi. Yakni, sustaining innovations, berupa inovasi berkala dan bertahap yang dilakukan perusahaan untuk meningkatkan kualitas produk dan layanannya.

Kedua, efficiency innovations, inovasi yang dilakukan demi meningkatkan efisensi dalam proses bisnis demi menghemat beragam biaya.

Ketiga market-creating innovations, inovasi dalam ide, produk dan model bisnis yang menciptakan pasar baru dan bahkan jenis pekerjaan baru.

Lantas adakah perusahaan keluarga di Indonesia yang telah melakukan inovasi demi menyelamatkan bisnisnya di masa pandemi ini? Apung menyatakan amat banyak.

Di antaranya PT Sri Rejeki Isman Tbk atau yang lebih dikenal dengan Sritex. Kampiun produsen tekstil di Sukoharjo, Jawa Tengah yang cikal bakalnya didirikan oleh (alm) HM Lukminto di Pasar Klewer, Solo ini salah satunya.

"Dengan 50 ribu karyawan, kampiun ekspor yang kini dikomandani generasi keduanya, Iwan Setiawan Lukminto itu tentu harus bergelut menghadapi permintaan yang menurun secara global, lantaran nyaris seluruh negara melakukan lockdown,’’ ujar Apung

Untuk itu Sritex berinovasi merilis masker kain non medis yang segera saja menjadi best seller di pasar. Disusul dengan merilis pakaian alat pelindung diri berstandard medis yang sangat dibutuhkan tenaga kesehatan dan kemudian jaket pria dan wanita berbahan antimikrobial yang mampu menahan bakteri, virus dan organisme lainnya.

Di berbagai daerah pun banyak perusahaan keluarga yang melakukan inovasi untuk mempertahankan bisnisnya. Mereka yang bergerak di bidang kosmetika pun telah berinovasi dengan merilis produk hand sanitizer yang sangat dibutuhkan pasar.

“Ada pula pengusaha hotel ketika PSBB kemarin yang mengubah propertinya menjadi tempat karantina untuk tenaga kesehatan maupun para pemudik yang hendak kembali ke kampung halamannya,” papar Apung.

Kembali untuk melakukan inovasi perusahaan harus memahami berbagai jenis inovasi disruptif (teknologi, budaya konsumen, model bisnis dan lain-lain), karena pemahaman tersebut merupakan faktor utama yang akan menyelamatkan perusahaan keluarga dalam menghadapi krisis Covid-19.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas