Pajak Pulsa untuk Distributor Dinilai Juga Akan Bebankan Pengecer
Menurutnya, imbas beban yang diterima pengecer ini, kemudian akan dibebankan lagi PPN tersebut ke konsumen.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Head of Research Data Indonesia Herry Gunawan menilai pengenaan pajak terhadap penjualan pulsa hingga token listrik kepada distributor akan memberi beban ke level pengecer.
“Klarifikasi Menkeu terkait pajak pertambahan nilai (PPN) dikenakan di tingkat distributor, bukan pengecer. Pertanyaannya, apakah distributor tidak akan membebankan ke pengecer?” ucap Herry Gunawan kepada wartawan, Senin (1/2/2021).
Menurutnya, imbas beban yang diterima pengecer ini, kemudian akan dibebankan lagi PPN tersebut ke konsumen.
Baca juga: Pemberlakukan Pajak Pulsa hingga Token Listrik Mulai Hari Ini, Begini Penjelasan Stafsus Sri Mulyani
Selain soal kenaikan harga di level konsumen, Herry juga menyoroti soal ketimpangan perpajakan yang diakibatkan kebijakan tersebut.
Heri mempertanyakan mengapa para pemain pasar uang di dalam negeri tidak dipajaki, sementara rakyat kecil pembeli pulsa dipajaki.
“Kebijakan seperti itu kontraproduktif. Sementara pembeli global bond bebas pajak alias dapat subsidi pemerintah. Ketimpangan yang nyata. Kenceng ke bawah, lunak ke atas,” sesal Herry Gunawan.
Sementara itu, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan mengatakan, pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) Pulsa dan Kartu Perdana yang diperkuat dengan Peraturan Menteri Keuangan PMK No 6/PMK.03/2021 masih absurd.
Baca juga: Pajak Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer Makin Memberatkan Rakyat di Saat Pandemi
"Pertama, di dalam PMK tidak terdapat rujukan peraturan lama yang perlu disederhanakan, sehingga masyarakat menanggapinya sebagai pajak baru. Untuk itu, mohon Menteri Keuangan yang Terhormat berkenan memberi peraturan lama sebagai bahan sosialisasi kepada sekelompok masyarakat yang berkepentingan," kata Anthony.
Kedua, sambung Anthony, karena tidak ada rujukan peraturan lama, pasal 2 menyiratkan Pulsa dan Kartu Perdana (ayat 2), fisik maupun elektronik (ayat 3), dikenai PPN (ayat 1), yang berlaku per 1 Februari 2021, sebagai pajak baru.
Menurutnya, Pungutan dan Pengenaan PPN merupakan dua hal berbeda.
Masyarakat pelanggan juga hanya tertarik apakah Pulsa dan Kartu Perdana dikenakan PPN, yang ternyata memang dikenakan hingga pelanggan seperti diuraikan di atas.
"Apakah interpretasi masyarakat sudah benar, bahwa PPN Pulsa dan Kartu Perdana dikenakan hingga pelanggan," cetus Anthony.
Sejatinya, menurut Anthony, pulsa dan kartu perdana bukan barang kena pajak.
Alasannya, pulsa dan kartu perdana bukan merupakan barang konsumsi, tetapi hanya sebagai sarana menyimpan (semacam dompet) uang, dengan nilai tertentu, yang dapat dibelanjakan untuk melakukan panggilan telpon atau data (internet), setelah dompet tersebut diaktifkan.
Sedangkan Kartu Perdana, yang berisi nomor telpon, adalah sarana (bersama telpon genggam) untuk melakukan pemanggilan telpon atau akses data (internet).
"Adapun barang konsumsi, atau barang kena pajak, yang sebenarnya adalah pemakaian telpon (pulsa) dan data (internet), atau singkatnya jasa telekomunikasi. Artinya, barang kena pajak yang dimaksud adalah pulsa yang dipotong oleh penyelenggara telekomunikasi seperti telkom, telkomsel, dan lainnya," tutur Anthony.