Strategi Indonesia Kurangi Ketergantungan Perdagangan dengan China
Kementerian Perdagangan menyatakan, mungkin 3 tahun lalu itu simbiotik perdagangan antara Indonesia dengan China masih kuat.
Penulis: Yanuar R Yovanda
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Kementerian Perdagangan menyatakan, mungkin 3 tahun lalu itu simbiotik perdagangan antara Indonesia dengan China masih kuat.
Sebab, Indonesia menjual produk minyak dan gas (migas) dan bahan mentah yakni ke China, sehingga kalau China ekonominya tumbuh 5 persen, mungkin efeknya ke Indonesia 0,25 persen.
"Tetapi, kita sekarang lagi berevolusi untuk menjual barang industri dan industri berteknologi tinggi. Contohnya, kita menjual besi ke China itu besar sekali, ekspor kita ke China itu 7 miliar dolar AS besinya dan pada saat bersamaan kita impor 7 miliar dolar AS dari China," ujar Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dalam wawancara virtual dengan Tribun Network, Selasa (16/2/2021).
Baca juga: Ekspor Non Migas Kerek Neraca Perdagangan Januari
Baca juga: Menteri Perdagangan: Relaksasi PPnBM Berdampak Besar ke Rantai Pasok
Baca juga: Tingkatkan Serapan Tenaga Kerja, Kemendag Perkuat Manfaat Perdagangan Jasa di ASEAN
Menurut dia, hal ini menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia sekarang sudah sejajar karena berevolusi ke barang industri dan barang industri berteknologi tinggi.
"Dengan kita berevolusi ke industri di masa yang akan datang, nanti ketergantungan kita dengan ekonomi China itu juga akan lebih independen. Sekarang itu meski defisit kita tinggi karena membeli barang industri dari sana dan yang kita jual masih barang mentah," katanya.
Lalu dengan tingginya minat investasi, apalagi kalau melihat dua produk nasional yakni besi dan baja serta otomotif dan sparepart.
"Itu semua asal muasalnya adalah investasi. Kalau mobil itu adalah investasi Jepang," pungkas Lutfi.