Pemerintah Diminta Prioritaskan Pengurangan Impor LPG
Komaidi Notonegoro mengatakan, pengurangan impor Liquefied Petroleum Gas (LPG) harus menjadi prioritas pemerintah.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktur Eksekutif ReForminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, pengurangan impor Liquefied Petroleum Gas (LPG) harus menjadi prioritas pemerintah.
Menurutnya, pengalihan energi yang bersumber di dalam negeri adalah langkah tepat.
"Tren yang ada menunjukkan konsumsi dan impor LPG terus meningkat setiap tahun. Jika tidak berani melakukan perubahan, impornya akan semakin besar dan ini akan jadi beban pemerintah karena di subsidi," ujar Komaidi kepada wartawan di Jakarta, Rabu (7/4/2021).
Baca juga: DPR Minta LPG Tidak Lagi Dijual ke Korporasi
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memproyeksi impor LPG sampai 2024 akan mencapai 11,98 juta ton.
Sementara produksi LPG hanya sebanyak 1,97 juta ton per tahun.
Kapasitas produksi kilang LPG di dalam negeri sendiri ditargetkan sekitar 3,98 juta ton pada 2024.
Akibat arus impor LPG yang kian membesar, khusus di 2021 saja pemerintah terpaksa mengalokasikan subsidi hingga senilai Rp 37,85 triliun.
Menurut Komaidi, besarnya angka subsidi LPG tersebut sejatinya bisa digunakan untuk membiayai proyek infrastruktur gas bumi.
Selain sumber gas bumi masih sangat besar, selama ini penggunaan gas bumi terbukti lebih efisien dan aman.
Baca juga: Tabung LPG Pertamina Mendarat di Perbatasan RI, Harganya Lebih Murah dari Malaysia
Komaidi meminta pemerintah agar serius dan konsisten untuk mendorong pembangunan infrastruktur.
"Perlu ada konsistensi dan komitmen riil bahwa program yang baik seperti pembangunan jargas 4 juta rumah tangga bisa diwujudkan. Energi ini adalah kebutuhan yang terus menerus, karena itu perlu kebijakan yang komprehensif, jangan parsial apalagi coba-coba," tegasnya.
Dari segi efisiensi, Komaidi menyampaikan bahwa lokasi wilayah sangat menentukan.
Artinya, untuk wilayah yang sudah memiliki infrastruktur dan pasokan gas maka jargas relatif lebih murah.
Namun, untuk wilayah yang tidak memiliki potensi gas, maka kompor listrik lebih fleksibel mengingat distribusi listrik bisa lebih menjangkau daerah yang lebih sulit sekalipun.
“Saran saya untuk wilayah yang memang memiliki sumber gas atau masih terjangkau untuk dapat dipenuhi pasokan gasnya lebih baik jargas dioptimalkan terlebih dahulu," tutupnya.