UMKM Kopi Asal Semarang Raih Omzet Rp70 Juta Per Bulan dari Marketplace
Fritz Januar Ajie, pengusaha kopi sangrai atau roastery asal Semarang membagikan kisahnya dalam merintis Panna Coffee.
TRIBUNNEWS.COM - Di balik secangkir kopi favorit orang-orang, ada proses yang tak sederhana untuk menyajikannya dengan kenikmatan paripurna.
Serangkaian proses kompleks mesti ditempuh, mulai menanam dan memanen biji kopi, pengolahan pascapanen yang baik dari petani, hingga penyangraian biji kopi oleh seorang roaster demi terciptanya cita rasa dan karakter asli dari setiap jenis kopi.
Dan untuk memastikan kopi melalui proses penyangraian berkualitas, dibutuhkan seorang roaster yang tak hanya andal, tetapi juga jatuh cinta dengan keunikan setiap kopi.
Tribunnews.com menyapa Fritz Januar Ajie, salah seorang pencinta kopi nomor wahid sekaligus pengusaha kopi sangrai atau roastery asal Semarang.
Ia berbagi kisahnya dalam merintis Panna Coffee yang telah dilakoninya sejak tahun 2015, Jumat (24/4/2021).
Sukses menjadi supplier kopi sangrai untuk coffee shop di berbagai daerah, ia memulai usaha ini dari kecintaannya terhadap kopi.
Pernah pada 2014-2015 ia mengalami kesulitan untuk mencari roasted bean dengan kualitas baik dan variasi kopi yang berbeda di Semarang.
Akhirnya, ia pun terdorong untuk mencari sumber biji kopi langsung dengan menjumpai para petani kopi di Indonesia.
“Waktu itu kopi pertama yang kita beli langsung itu dari petani di Bali dan Aceh. Hasilnya ternyata rasanya beda-beda. Ternyata ketika disangrai nggak terlalu gelap, kopi punya rasa yang unik terutama untuk kopi arabika. Itulah yang akhirnya mendorong saya untuk mengenalkan produk-produk kopi di Semarang dan mulai merintis usaha Panna Coffee di 2015,” papar Fritz, bercerita dengan sangat antusias.
Membawa cerita di balik biji kopi
Menjadi roaster sekaligus pengusaha kopi sangrai tidak mudah. Ia harus mengenal terlebih dulu karakteristik dasar kopi, baru mengembangkan karakteristik unik kopi itu berdasarkan daerah asalnya.
Misalnya, ketika Panna Coffee membeli kopi gayo dari petani, ia menemukan kisah unik pada kopi tersebut: ada bibit yang sangat tua yang ditanam tahun 1928. Kemudian, ia memisahkan biji kopi istimewa tersebut dari biji lainnya dan memantau proses pengolahannya agar kelak diketahui cita rasa khas dari kopi “bersejarah” tersebut.
“Biasanya kita cari-cari keunikan dari positioning bisnis Panna Coffee gitu supaya ada added value lebih ke customer. Jadi nggak hanya sekadar minum kopi tapi di kopi itu juga ada ceritanya,” ungkap Fritz.
Added value inilah yang menurut Fritz menjadi pembeda mencolok antara speciality coffee dengan kopi instan biasa. Seperti yang terdapat pada salah satu produk terlaris Panna Coffee, yakni kopi Pisang Goreng Madu.
Terdampak pandemi, bangkitkan penjualan di marketplace
Panna Coffee awalnya disegmenkan untuk B2B, bukan konsumen retail. Dengan kata lain, ia adalah penyuplai coffee shop. Namun, ketika dihantam badai pandemi, segalanya jadi lain cerita.
Sepinya beberapa coffee shop di berbagai daerah yang merupakan pelanggan tetapnya membuat penjualan Panna Coffee ikut terjun bebas. Hasil penjualan hanya bersisa 10-15% dari biasanya.
Fritz akhirnya merombak strategi. Ia mengambil gebrakan besar dengan memanfaatkan penjualan online melalui marketplace Tokopedia dan menjual lebih banyak kopi dalam kemasan eceran untuk konsumen ritel.
“Karena orang kalo nggak ngopi di kafe kan berarti ngopi di rumah. Makanya, selama pandemi kita fokus kencengin penjualan ritel via Tokopedia agar masyarakat bisa ngopi di rumah tapi tetap enak,” ujar Fritz.
Keseriusan Fritz mengelola bisnisnya secara online juga ditunjukkannya dengan meng-upgrade kemasan retail Panna Coffee agar lebih menarik. Saking niatnya, ia menggandeng ilustrator lokal dan juga dari Jerman untuk desain packaging-nya.
Ia juga turut memanfaatkan fitur TopAds, Broadcast Message, Bebas Ongkir serta Pengingat Ulasan di Tokopedia.
Fritz mengandalkan Tokopedia karena marketplace tersebut memudahkannya dalam berbisnis dengan segala sistem yang sudah terintegrasi, mulai dari sales, shop management/operational, tracking penjualan hingga customer service.
Selain itu, Fritz memahami bahwa target pasarnya yang mayoritas pria memang banyak dijangkau melalui Tokopedia.
Begitu pun dengan pengelolaan media sosial. Ia dengan cermat mengarahkan pembeli dari media sosial untuk checkout di Tokopedia. Lebih jauh lagi, kini ia menyulap akunnya jadi lebih memikat dengan konten-konten edukasi tentang kopi.
Langkah demi langkah digitalisasi yang dengan gigih ia tempuh telah membebaskan Panna Coffee dari krisis pandemi.
Hasilnya? Terkait omzet, penjualan offline memang belum sepenuhnya pulih, baru sekitar 60% dari pendapatan sebelum pandemi.
Akan tetapi, penjualan retail secara online begitu melesat dengan kisaran omzet 120-130 juta per bulan. Yang menarik, hampir 60-70 juta omzet bersumber dari pesanan di Tokopedia.
Terlebih, seiring kembali beroperasinya coffee shop di berbagai daerah, upaya digitalisasi pun makin kentara. Panna Coffee makin melebarkan sayap dengan menyuplai 30-40 coffee shop yang tersebar di Semarang, Jogja, Solo, Surabaya, Jakarta, Palembang, Palangkaraya, Samarinda, bahkan hingga ke luar negeri seperti Filipina, Singapura, dan Malaysia.
Terakhir, ia berharap kelak dapat menyajikan kopi berkualitas untuk pelanggan langsung di tempat, seraya mengedukasi mereka dengan pengetahuan dan cerita dari kopi yang diminumnya.
“Untuk Panna Coffee ke depannya dalam jangka waktu pendek kami mau bikin yang full experience di mana orang bisa ngopi di sini, bayar sesukanya, tapi kita bisa kasi edukasi lebih dengan apa yang dia minum,” harap Fritz.
Tak lupa, kepada para pelaku usaha kopi Indonesia, Fritz membisikkan harapannya: semoga makin banyak mereka yang tergerak untuk memberdayakan digitalisasi, agar usahanya kian berkembang dan menjangkau pasar yang lebih luas.
Penulis: Nurfina Fitri Melina/Editor: Bardjan