Inilah Risiko-risiko yang Harus Indonesia Hadapi Jika The Fed Kerek Suku Bunga Tahun Depan
Indonesia harus bersiap menghadapi berbagai risiko dan konsekuensi jika Bank Sentral AS, The Federal Reserve mengerek suku bunga acuannya tahun depan.
Editor: Choirul Arifin
Laporan Reporter Kontan, Bidara Pink
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia harus bersiap menghadapi berbagai risiko dan konsekuensi jika Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve mengerek suku bunga acuannya tahun depan.
The Fed saat ini diperkirakan akan meningkatkan suku bunga tahun depan. Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman menjabarkan beberapa efek yang akan dirasakan oleh Indonesia saat adanya pengetatan moneter negara Paman Sam tersebut.
Pertama, adanya risiko peningkatan yield SBN jika tapering ini lebih cepat dari perkiraan.
Namun, Faisal melihat, sebenarnya ruang untuk peningkatan yield SBN masih ada karena asumsi APBN 2021, yield SBN tenor 10 tahun sebesar 7,29% atau masih di atas yield saat ini.
“Sehingga, sebenarnya manajemen fiskal kita dalam hal pembiayaan saat ini masih cukup mumpuni untuk itu. Selain itu, lembaga pemeringkat dunia juga menilai Indonesia masih tergolong investment grade dengan mayoritas outlook stabil,” ujar Faisal kepada Kontan.co.id, Selasa (1/6/2021).
Kedua, adanya risiko aliran modal asing yang keluar dari pasar keuangan domestik yang menyebabkan pelemahan nilai tukar rupiah.
Baca juga: Penyaluran Kredit Masih Kontraksi Minus 2,28 Persen Hingga April 2021
Namun, hal ini bisa diminimalisir dengan mengurang potensi pelebaran current account deficit (CAD) dengan mulai meningkatkan substitusi impor.
Tak hanya itu, Indonesia juga bisa meningkatkan proporsi investasi langsung atau foreign direct investment (FDI) karena outflow yang terjadi lebih ke investasi portofolio yang sifatnya jangka pendek (hot money).
Baca juga: Defisit APBN 2021 Makin Manjadi-jadi, Hingga April 2021 Meroket 85,5 Persen Senilai Rp 138,1 Triliun
“Jadi, dengan membuat investasi langsung lebih dominan di neraca transaksi finansial, maka risiko dari tapering ke Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) bisa diminimalkan,” tambahnya.
Faisal lalu mengingatkan, yang menjadi kekhawatiran sebenarnya adalah saat kenaikan suku bunga The Fed atau tapering terjadi, tetapi pemulihan ekonomi domestik masih belum optimal.
Baca juga: Ini Langkah PLN Turunkan Beban Utang yang Capai Rp 649 Triliun
Pasalnya, peningkatan suku bunga The Fed ini menjadi salah satu faktor yang mendasari naiknya suku bunga acuan BI. Padahal, pemulihan ekonomi butuh suku bunga yang relatif rendah guna memicu kegiatan investasi.
Guna makin mengecilkan risiko secara keseluruhan, Indonesia harus cepat mengejar dan menggenjot pemulihan ekonomi.
Pemerintah dan BI perlu menghadapi risiko dengan bahu membahu mempercepat proses pemulihan ekonomi dengan bauran kebijakan dan progres vaksinasi.
Semakin cepat Indonesia pulih, semakin menarik juga Indonesia untuk menjadi tujuan investasi. Selain itu, dengan sendirinya penerimaan negara juga bisa meningkat sehingga kebutuhan pembiayaan fiskal berkurang.
Kabar baiknya, bila mengikuti pernyataan The Fed, sekarang bank sentral AS masih akan cenderung dovish terkait kebijakannya sehingga kemungkinan BI juga masih akan menjaga suku bunga rendah di tahun ini.
“Kemungkinan BI akan menaikkan suku bunga di akhir tahun 2022 atau awal tahun 2023. Masih bisa berubah sesuai perkembangan kondisi dan statement The Fed di Juni ini."
"Biasanya di setiap akhir kuartal The Fed akan keluarkan proyeksi makronya. Jika berubah menjadi lebih optimis terkait ekonomi AS, maka bisa lebih cepat,” tandasnya.
Artikel ini tayang di Kontan dengan judul Ini risiko yang akan dihadapi Indonesia saat terjadi pengetatan moneter di AS