Pengamat Beberkan Syarat Garuda Indonesia Bisa Kembali Untung
Ketatnya pembatasan aktivitas perjalanan akan membuat perusahaan penerbangan manapun sulit mendapatkan keuntungan
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) mencatatkan rugi bersih sebesar 384,34 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp 5,57 triliun di kuartal I 2021.
Jumlah kerugian tersebut mengalami kenaikan sebanyak 219,86 persen dibanding periode sama tahun sebelumnya sebesar 120,16 juta dolar AS.
Pengamat keuangan Ariston Tjendra membeberkan syarat agar maskapai pelat merah ini bisa kembali mencetak keuntungan.
"Keuntungan bisa kembali didapat Garuda bila kondisi perjalanan di Indonesia kembali di level sebelum pandemi.
Baca juga: Citilink Dinilai Lebih Sehat, Pengamat Beri Saran Ini ke Garuda Indonesia
Ketatnya pembatasan aktivitas perjalanan akan membuat perusahaan penerbangan manapun sulit mendapatkan keuntungan," ujarnya melalui pesan singkat kepada Tribunnews, belum lama ini.
Ariston menjelaskan, jika melihat lebih dalam lagi dari laporan rugi laba kuartal I 2021, ada pengeluaran biaya terkait dengan operasional penerbangan sudah turun cukup jauh sebenarnya.
Beban perseroan dipangkas menjadi 702,18 juta dolar AS di kuartal I 2021 dibanding periode sama tahun sebelumnya 945,71 juta dolar AS.
"Ini seiring dengan berkurangnya aktivitas penerbangan dan pengembalian sewa pesawat.
Hanya saja penerimaan yang turun 53 persen membuat posisi keuangan menjadi rugi," katanya.
Selain itu, perseroan mencatat kenaikan liabilitas atau utang menjadi 12,9 miliar dolar AS di kuartal I 2021 dibanding akhir tahun lalu 12,73 miliar dolar AS.
Lebih rinci, total utang jangka pendek naik menjadi 4,55 miliar dolar AS dari sebelumnya 4,29 miliar dolar AS dan liabilitas jangka panjang turun menjadi 8,34 miliar dolar AS dari sebelumnya 8,43 miliar dolar AS.
"Belum lagi perusahaan juga terbebani dengan utang jangka pendek yang besar, current ratio hanya sekira 0,1.
Itu artinya perusahaan sangat kesulitan membayar utang jangka pendeknya, arus kas dari operasional negatif, perusahaan wajib melakukan restrukturisasi utang agar kondisi keuangan sehat kembali," pungkas Ariston.