Kenaikan Cukai Rokok Dinilai Tak Mampu Tutupi Defisit Anggaran
Kenaikan cukai rokok seharusnya tidak hanya soal penerimaan saja, tapi utamanya soal implikasi pada pekerja dan petani harus diperhatikan
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok pada tahun depan, dinilai tidak tepat di tengah pemulihan ekonomi dari dampak pandemi Covid-19.
Ekonom UI Eugenia Mardanugraha mengatakan, saat ini negara memang membutuhkan penerimaan untuk mendukung berbagai program pemulihan ekonomi nasional karena pandemi.
Namun, kata Eugenia, pemerintah semestinya jangan fokus pada penerimaan saja, karena kenaikan cukai berapapun besarannya tidak akan membantu menutupi defisit akibat resesi ekonomi.
“Fokusnya jangan pada kenaikan cukai. Cukai naik atau tidak, pemerintah tetap akan merasakan defisit.
Kenaikan cukai rokok seharusnya tidak hanya soal penerimaan saja, tapi utamanya soal implikasi pada pekerja dan petani harus diperhatikan,” ujar Eugenia, Jumat (24/9/2021).
Baca juga: Bea Cukai Gelar Acara Bedah Buku Raih Beasiswa S2 Luar Negeri, Ayo Daftar!
Eugenia mengingatkan, dari besarnya penerimaan cukai yang didapat negara, seharusnya dapat dikembalikan kepada petani, buruh, pekerja, hingga konsumen.
Oleh sebab itu, pemerintah perlu bertanggungjawab merealisasikan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT).
"Sudah saatnya petani dan buruh merasakan kesejahteraan dari cukainya. Masa dari target penerimaan negara dari cukai sebesar Rp 203,9 triliun pada 2022, tidak bisa dikembalikan kepada petani, buruh, dan konsumen,” paparnya.
Sosiolog UGM AB Widyanta menyebut, berapa pun besaran CHT yang diterapkan, pemerintah selalu abai terhadap perjuangan para petani tembakau.
"Pemerintah harus melihat potensi, bukan hanya melihat keuntungan untuk menutup defisit ekonomi. Petani juga butuh didampingi dalam manajemen pertanian, misalnya dari sisi grading dan penjualan,” tutur Widyanta
Tak hanya petani, AB Widyanta juga menyoroti dampak kenaikan CHT pada kondisi buruh pabrik terutama yang berkaitan dengan sigaret kretek tangan (SKT).
Jika CHT dinaikkan dan produksi rokok semakin menurun, maka para pekerja di sektor padat karya seperti SKT yang mayoritas perempuan akan terdampak langsung dengan pengurangan jam kerja hingga pengurangan upah.
"Mereka ini seharusnya perlu diberdayakan, ditingkatkan kualitasnya agar bisa mandiri dan sejahtera," ucapnya.