Wacana Kenaikan PPN, Dinilai Berisiko pada Pemulihan Ekonomi hingga Memberatkan Pemerintahan Baru
Pemerintah berencana untuk meningkatkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) secara bertahap. Peningkatan ini akan dimulai pada tahun depan
Penulis: Muhammad Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah berencana untuk meningkatkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) secara bertahap. Peningkatan ini akan dimulai pada tahun depan.
Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RPP), rencananya, tarif PPN akan dinaikkan menjadi 11% per 1 April 2022 dan kemudian menyusul menjadi 12% paling lambat per 1 Januari 2025.
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menegaskan, kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tidak tepat dilakukan dalam waktu dekat ini.
Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad mengatakan, hal ini dengan melihat kondisi perekonomian yang belum pulih seutuhnya akibat pandemi Covid-19.
Tauhid mengaku, Indef pernah melakukan kajian dan bahkan perhitungannya, bila PPN yang saat ini berlaku 10% naik ke 11% pada April 2022 dan naik ke 12% pada Januari 2025, dampak negatifnya akan nyata.
“Jelas dampak negatifnya, PDB turun, upah riil turun, bahkan ekspor maupun impor bisa turun. Intinya, bagi perekonomian, ini akan berdampak negatif apalagi di saat kondisi pemulihan ekonomi dan ekonomi sedang tidak normal,” ujar Tauhid, Rabu (6/10/2021).
Baca juga: SPK Indonesia Keberatan dengan Pemberlakukan PPN, Ini Alasannya
Tauhid kemudian menjelaskan, turunnya PDB ini didorong oleh penurunan daya beli masyarakat karena adanya kenaikan PPN. Kenaikan PPN ini akan menyundut harga barang yang dibeli oleh masyarakat.
Nah, dengan turunnya daya beli, otomatis konsumsi akan berkurang. Berkurangnya konsumsi tentu akan berpengaruh besar pada pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, konsumsi rumah tangga memegang porsi terbesar dalam perhitungan pertumbuhan ekonomi.
Di kesempatan yang sama, Peneliti Center of Trade, Industry, and Investment Indef Heri Firdaus menjelaskan, kenaikan tarif PPN menjadi 11% di tahun 2022 bisa menurunkan konsumsi rumah tangga 2,05% dan dengan demikian, pertumbuhan ekonomi bisa tergerus 0,02%.
Ia mengambil contoh, bila seharusnya pada tahun depan Indonesia bisa tumbuh 5%, maka karena ada kenaikan PPN Indonesia hanya mampu tumbuh 4,98% saja.
Kemudian, bila PPN naik menjadi 12%, maka akan terjadi penurunan konsumsi rumah tangga hingga 3,32% sehingga pertumbuhan ekonomi ikut tergerus 0,11%.
Memberatkan pemerintahan baru
Sementara itu, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai, rencana peningkatan PPN menjadi 12% dalam periode tersebut akan memberatkan pemerintahan baru.
Apalagi, seperti diketahui, era pemerintahan Presiden Joko Widodo akan berakhir pada tahun 2024.